Menurut pandangan klasik dan rasional tentang manusia yang diwarisi dari Yunani dan Romawi dan yang dihidangkan kembali dalam bentuk yang agak sedikit berlainan selama zaman Renaisans, hal yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah fakta bahwa manusia itu makhluk yang berakal. Bagi Plato, akal adalah untuk mengarahkan budi pekerti: akal itu merdeka dan abadi dalam wataknya yang esensial. Hanya akallah yang dapat masuk dalam watak benda-benda. Bagi Aristoteles juga, akal adalah kekuatan yang tertinggi dari jiwa. Akal adalah sifat milik manusia yang memisahkannya dari watak yang non-manusiawi (subhuman nature). Aliran Stoic mempercayai akan adanya akal alam (cosmic reason) atau logos, yang berada di tiap-tiap benda. Manusia yang ideal adalah orang yang bijaksana, yang mengekang emosinya, dan mengatur dunia dengan menguasai dirinya. Akal harus memeriksa hasil dari indra, karena persetujuan akal adalah sangat pokok dalam pengetahuan manusia.
Menurut interpretasi klasik ini, manusia harus difahami pertama dari segi pandangan tentang watak dan keistimewaan kekuatan akalnya. Akal adalah prinsip yang mempersatukan dan karena itu ia terpisah dari badan. Akal adalah kebanggaan dan keagungan manusia. Bagi Socrates, Plato dan pengikut-pengikut mereka orang yang pandai adalah orang yang bermoral (virtuous). Mengetahui yang benar berarti melakukannya. Kejahatan adalah akibat dari kebodohan. Tujuan usaha manusia dan arti kemajuan adalah perkembangan yang harmonis dari fungsi dan kemampuan manusia, dengan jalan supremasi dan kesempurnaan akal dalam manusia dan masyarakat.
Pandangan klasik mengenai manusia adalah optimistik, khususnya tentang kepercayaannya terhadap akal manusia dengan pandangannya bahwa manusia yang pandai adalah manusia yang berbudi baik; akan tetapi terdapat kesan adanya rasa “sedih” dalam kebudayaan Yunani Romawi. Banyak pemikir Yunani yang sangat terkesan oleh singkatnya hidup manusia. Mereka tidak percaya bahwa terdapat banyak orang yang bijaksana. Sejarah tidak banyak artinya, karena hanya merupakan berulangnya kejadian-kejadian yang tidak ada akhirnya. Ada beberapa orang seperti Democritus, Epicurus, dan Lucreitus; mereka memandang manusia itu sebagian dari alam, tetapi mereka tidak mengingkari pentingnya akal; mereka hanya menafsirkannya dengan cara lebih naturalis dan mekanis.
Pandangan Renaisans terhadap manusia tetap memberi kesan “percaya” kepada akal; perbedaannya dengan pandangan klasik adalah bahwa keistimewaan manusia itu dilihat dari segi kebebasan akal dan hubungan manusia dengan Tuhan. Kepercayaan agamanya tidak didasarkan kepada wahyu, tetapi kepada penyelidikan yang bebas dan pilihannya sendiri. Dengan maksud untuk memahami dan membenarkan kemampuannya untuk melakukan sesuatu di dunia, manusia zaman Renaisans mencari keharmonisan dalam filsafat dan teologi. Walaupun pandangan orang Renaisans tetap bersifat nasrani, namun ia mirip dengan pandangan filsafat sebelumnya dengan memfokuskan penerapan (aplikasi) yang praktis tentang kebenaran untuk kehidupan manusia dalam masyarakat.
Pandangan tentang Manusia dari Agama-agama Barat:
Yahudi, Nasrani dan Islam
Dalam kitab-kitab suci agama tersebut terdapat gambaran yang pokok yaitu bahwa manusia itu mempunyai hubungan yang khusus dengan Zat Pencipta. Keistimewaan manusia tidak hanya karena akalnya atau hubungannya dengan alam. Lebih daripada itu, tiap pribadi merupakan pribadi yang istimewa dan berharga karena berasal dari Tuhan.
Dalam agama Yahudi dan Nasrani manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak menurut inisiatifnya; ia mempunyai kebebasan untuk bergerak dalam batas waktu dan tempat, kebebasan untuk merubah jalannya sejarah, tetapi tidak dapat merubah kekuasaan Tuhan atau hasil terakhir dari proses sejarah, dalam arti bahwa manusia itu mempunyai kemauan untuk memilih dan mengadakan hubungan cinta, menurut istilah Nasrani “ia diciptakan dalam citra Tuhan”, maksudnya adalah bahwa Tuhan telah memberi manusia sifat-sifat istimewa sebagai pelaku yang bebas yang dapat melakukan cinta yang aktif yang mirip dengan penjelmaan (self-ekspression) Tuhan sendiri. Walaupun begitu karena manusia memiliki kebebasan memilih, ia dapat menolak ajakan Tuhan dan tetangga, memilih Tuhan yang palsu dan memilih akibat-akibatnya. Semua itu adalah dosa.
Dalam Islam manusia juga merupakan makhluk Tuhan. Akan tetapi lebih sukar untuk mencari “doktrin kebebasan manusia” dalam Al-Quran daripada mencari dalam Injil.· Dengan menekankan adanya Tuhan di mana-mana tanpa kompromis, orang Islam memasukkan ide predestinasi (takdir) dalam citra mereka tentang manusia.·· Tuhan mengarahkan segala kejadian. Bertentangan dengan gambaran tersebut beberapa ayat Al-Quran menunjukkan pertanggung jawaban pribadi, sehingga menyerah kepada kehendak Tuhan itu harus didasari dengan “kebebasan”. Barangkali adalah sangat adil untuk mengatakan bahwa dalam Islam terdapat problema bagaimana mempertemukan “kebebasan manusia” dengan “kehadiran Tuhan di mana-mana”.
Bagi tiga agama Barat ini, patokan untuk mempergunakan kebebasan manusia adalah sikap cinta dan menyerah kepada kehendak Tuhan. Masing-masing agama mengerti watak dari cinta tersebut serta keretakan hubungan (dosa) dalam bermacam-macam bagian dari kitab suci dan tradisi. Partisipasi dalam kepercayaan, menurut definisinya masing-masing adalah pendidikan yang pokok bagi manusia secara pribadi atau kolektif. Untuk sifat kebaikan mereka sebagai: anak-anak Tuhan. Partisipasi seperti itulah yang memberikan rasa cinta kepada mereka.··· Dengan begitu, maka implikasi dari citra manusia dalam agama Barat adalah bahwa keagamaan seseorang memerlukan sifat setia (loyal) sebagai pribadi atau sebagai umat, atau sifat cinta kepada Tuhan, tetangga dan diri sendiri.
Pandangan tentang Manusia dari Agama-agama Timur:
Hinduisme dan Budhisme
Agama-agama Timur mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang manusia dan esensinya. Agama Hindu atau Hinduisme, menunjukkan keadaan yang kompleks, dan karena itu sukar untuk menunjukkan suatu pandangan khusus tentang manusia dalam pemikiran Hindu. Walaupun begitu tema yang besar dari segala aliran fikiran Hindu adalah bahwa manusia harus mencari hidup yang langgeng yang tak dapat rusak atau binasa. Ia harus menembus jalan dengan melalui pembauran-pembauran yang menyesatkan dan penampakan-penampakan hidup, untuk dapat melihat dirinya yang sesungguhnya dalam hubungannya dengan hidup yang kekal. Manusia harus mulai dengan mengetahui dirinya sendiri secara benar. Ia harus menerobos hutan yang penuh dengan tipuan yang disebabkan oleh indranya, agar dapat mengerti kehidupan yang kekal yang tidak dapat musnah.[1]
Mengenai agama Budha, tak ada yang lebih membingungkan bagi akal orang Barat daripada pandangan Budha tentang watak manusia. Ajaran Budha bermula dengan diagnosa tentang situasi manusia, dan menemukan obat bagi situasi tersebut dalam Empat Kebenaran Yang Agung (The Four Noble Truths).[2] Diagnosa dan obat diterangkan dalam pandangan tentang dunia yang berlainan dengan pandangan orang Barat. Budhisme melihat kehidupan manusia sekarang dari segi kepindahan dari suatu kehidupan kepada kehidupan yang lain. Jika kita menengok ke arah mana saja, tak akan ada yang kekal dalam kehidupan sekarang. Dalam fikiran agama Budha, hidup ini mengandung dukha (penderitaan). Istilah tersebut berarti penderitaan jasmaniah dan keruhanian yang terdapat dalam kehidupan sekarang, yang sangat bertentangan sekali dengan rasa tentram dalam nirvana. Yang menjadi problema yang pokok bagi akal orang Barat adalah bahwa Budhisme itu mengatakan bahwa kita tidak memiliki aku (self) untuk merasakan penderitaan atau kenikmatan. Manusia tidak terkecuali dari hukum umum: segala sesuatu itu berubah. Tak mungkin ada watak manusia yang tetap. Doktrin Budhis mengatakan bahwa yang ada itu bukan aku (self) atau jiwa, akan tetapi kumpulannya aliran-aliran, dari rasa badaniah, perasaan, persepsi, konsepsi dan kesadaran. Oleh karena itu, manusia yang membanggakan diri adalah orang yang tertipu dan tak berarti; benda-benda yang diinginkan oleh aku itu tidak kekal, karena aku itu sendiri juga tidak kekal, akan berubah dan binasa.
Berbeda dengan pemikiran di Barat, Hinduisme dan Budhisme memandang kebebasan manusia dari segi apakah ia dapat mengikuti jalannya kepindahan dari suatu kehidupan kepada kehidupan yang lain. Dan dengan begitu ia dapat bebas dari dirinya sendiri; atau ia dapat menghindarkan diri dari arus tersebut, dan dengan begitu ia menangguhkan kebebasannya dari AKU. Walaupun begitu, semua kehidupan itu akhirnya sampai kepada tujuannya di nirvana yang sama. Oleh karena itu tak perlu ada konsep kebebasan yang mempunyai arti yang ultimate terakhir dan sangat tinggi. Kita akan membicarakan hal ini lebih terperinci dalam fasal tentang pemikiran Timur. Pada saat ini kita harus mengerti bahwa kebebasan manusia dalam pemikiran agama-agama Barat adalah sangat penting bagi hari kemudian seseorang atau suatu kelompok. Dalam Hinduisme dan Budhisme, tujuan terakhir adalah sama yaitu nirvana yang merupakan hari kemudian bagi seluruh alam.
Dalam aliran-aliran filsafat dari Hinduisme dan Budhisme, dosa adalah kecenderungan yang bodoh kepada dunia, yaitu kecenderungan yang menghalangi proses kepindahan dan kebebasan dari alam ini. Di sini, kita menjumpai lagi arti “dosa” yang berlainan dengan arti yang terdapat dalam tradisi Yahudi. Di Timur, watak manusia akan menjadi sempurna dalam menuju nirvana; adapun di Barat, berada dalam persekutuan dengan Zat Pencipta dan Penyayang adalah tujuan yang dapat dipilih atau ditolak oleh seseorang.
(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).
- · Ini adalah suatu contoh bagaimana orang-orang Barat menyalah fahamkan Islam. Sudah terang bahwa pengarang buku ini tidak pernah mempelajari Al-Quran secara langsung, sebab kalau mereka melakukannya, mereka akan mendapatkan sikap lebih falsafi daripada sikap Injil tentang kebebasan manusia. (Penerjemah).
- ·· Ini adalah suatu aliran yang sekarang ini sudah tidak ada lagi, yaitu aliran Jabariah.
- ··· Kata-kata: anak-anak Tuhan (Children of God) terdapat dalam agama Yahudi dan Kristen. Bagi Islam istilah dalam arti tersebut adalah: hamba-hamba Allah. Adapun kata “cinta” tersebut dalam Al-Quran yang artinya: “Katakan hai Muhammad, jika kamu cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Ia akan cinta kepadamu. (Penerjemah).
[1] H. D. Lewis dan Robert Slater, World Religions (London: C. A. Watts, 1964), hal. 34.
[2] Bacalah fasal 20 dan perhatikan keterangan tentang istilah-istilah agama Budha dalam “Mencari Pencerahan Menurut Budhisme”, hal. 477-483.