Sudah dua musim, setiap pagi, dua perempuan muda itu, selalu duduk bersebelahan, di kursi paling belakang bus nomor 211. Kali ini perempuan tinggi berhidung jangkung, rambut warna madu yang diekor kuda, dan mata biru itu duduk di tepi jendela. Kemarin, perempuan berambut hitam pendek, kulit coklat, dengan tinggi perempuan Asia itu, duduk di sana. Tampaknya tergantung siapa yang duluan tiba di bus untuk duduk di sebelah mana.
Penumpang bus nomor 211 yang berangkat pukul tujuh lima belas menit itu, selalu sama setiap hari, meski tujuannya berbeda. Mereka mengenal satu sama lain, tapi beberapa saja yang suka berbasa-basi, paling tidak, tentang cuaca, yang berubah secara cepat. Kecuali dua perempuan muda itu yang suka bicara tentang apa saja, seingat mereka, sesuka mereka.
Bus bergerak menuju pusat kota, menyusuri jalanan desa, melewati rumah-rumah yang mulai menyalakan penghangat. Asap yang mengepul dari cerobong larut dalam udara lepas awal musim gugur.
”Aku mau pulang ke negeriku selepas musim gugur.” kata Helena, perempuan berambut ekor kuda, memaku pandangan ke luar jendela, ke jajaran pohon maple yang daunnya merah menyala, pertanda mengandung banyak gula, yang sebentar lagi, mau tidak mau, rontok, menyatu dengan bumi yang berangsur menjadi dingin. Sebab tak cukup panas matahari untuk para daun bertahan di dahan dan ranting.
”Selamanya, sementara? ” Sadrah, teman sebelahnya, bertanya. Helena menarik-narik rambutnya. ”Belum tahu. Aku hanya ingin pulang. Belum semua tentangku aku ceritakan padamu, ya?”
Irene, sarjana pendidikan. Setelah komunis tak lagi berkuasa di negerinya, ia membuka Taman Kanak-kanak, memanfaatkan tanah kosong orangtuanya di kota kecamatan. Ada 50 anak-anak yang masuk sekolahnya. Ia bisa bicara bahasa, Inggris, Jerman, Rumania, Prancis, dan Rusia.
Bersama keluarganya, ia membuka warung kopi dengan kue-kue yang semuanya dibubuhi apel. Katanya, banyak orang menanam apel di halaman rumah, bosan jika hanya dimakan begitu saja. Di halaman rumahnya ada enam pohon apel Mcintosh, yang setiap panen bisa berbuah 150 biji sepohonnya. Apel merah dengan sedikit saputan hijau ini manis dan renyah, bagus untuk campuran kue-kue. Awet pula disimpan seusai panen, yang biasanya terjadi awal hingga akhir musim gugur.
Pagi dan sore warungnya ramai dikunjungi pembeli, yang suka minum kopi dan kue sambil ngobrol apa saja, berjam-jam. Bicara menjadi kegemaran mereka terbaru, setelah bertahun-tahun dipaksa diam. Jika pun bicara berbisik-bisik. Mereka percaya, dinding, pohon, dan langit punya telinga.
”Untuk seorang perempuan muda, boleh dikata, aku memiliki pendidikan, pekerjaan bagus, dan status,” pamer Helena pada Sadrah.
Bus nomos 211 berhenti di sebuah halte, depan perpustakaan. Setiap pagi pria yang turun dari bus itu, membawa beberapa buku di tangannya. Entah ada berapa buku lagi di tas hitam yang ditentengnya. Mungkin pegawai perpustakaan, mungkin pelajar yang sedang menulis tesis, mungkin…
”Mengapa kau tinggalkan kesenangan itu?”
Helena tertawa sinis pada dirinya. ”Aku muak pada para politisi yang mau enaknya sendiri.
”Maksudmu?”
”Di musim dingin, di akhir pekan, aku menjadi pelatih sky untuk para anggota partai dan tetamunya, pengusaha dari luar. Kudengar mereka bicara tentang komisi dari tender-tender raksasa yang direncanakan, sedang diproses, dan sudah dinikmati itu penuh kolusi. Sementara sebagian besar rakyat masih kepayahan membeli roti.”
”Mengapa kau peduli?”
”Mungkin kemudaanku yang muak pada politik, seperti para muda lain di banyak negeri yang ingin perubahan. Aku ingin tinggal di negeri yang merdeka dari para politisi rakus. Negeri yang semua rakyatnya bisa makan.”
Bus berhenti. Seorang perempuan berwajah India turun di depan Salvation Army, toko barang bekas yang menyediakan, baju, sepatu, peralatan dapur, buku, lukisan, dan furniture.
”Kuhabiskan semua tabungan untuk berimigran ke negeri ini. Kubayangkan aku bakal bergaji besar, mampu makan apa saja, punya mobil, punya rumah, berwisata di musim panas, dan sebagainya dan sebagainya seperti kehidupan yang kulihat di film-film. Untuk menikmati kesenangan itu, aku tak keberatan bekerja keras, seperti umumnya penduduk di negeri ini. Celakanya, ijasah universitasku tak diakui. Aku tak bisa jadi guru. Sementara buat hidup aku harus bekerja. Pekerjaan yang tak memerlukan ijazah adalah buruh pabrik. Kerjaku sekarang menempel stiker di pabrik panci. Gajiku, 8.00 dolar per jam. Aku kerja delapan jam sehari, lima hari seminggu. Itu hanya cukup untuk membayar apartemen, listrik, bus, dan makan. Perlengkapan yang ada di apartemen aku beli dari salvation army dan garage sale. Jaket, baju, jean, tidak celana dalam, juga dari salvation army. Ini tak akan terjadi jika aku di negeriku. Aku mau pulang saja mungkin buat selamanya.”
”Tak muak lagi pada politisi?”
”Masih muak, tapi apa dayaku. Akan kubantu saja anak-anak mempelajari banyak buku dan pikiran. Kelak, entah kapan, mungkin satu dari mereka, punya keberanian untuk mengemukakan pikiran tentang perubahan, perbaikan, dan didengar orang-orang di negeriku, orang-orang dari negeri lain. Kala itu, mungkin aku sudah mati!”
”Pulanglah kalau begitu,” ucap Sadrah pelan.
Mendadak ia rindu ibu-bapak, sepupu, ponakan, paman, dan tante. Teman-teman, apa kabarmu? Teman Sadrah, Kim, mengomandoi LSM perempuan. Luki jadi asisten salah satu menteri. Arsal, salah satu wakil ketua di sebuah partai. Meta, jadi wartawan TV. Kas, jadi pengamat politik, yang banyak menulis di media.
”Kelak, aku akan kembali ke negeri ini sebagai wisatawan bukan buruh pabrik panci. Pasti, pasti, aku akan mengunjungimu, jika kau masih di sini, dan naik bus nomor 211, duduk persis di sini ini, di paling belakang, Topik pembicaraan kita tentu akan berbeda,” khayal Helena. Lalu katanya pada Sadrah, ”Kau rindu negerimu?”
Mendadak Sadrah melempar pandang ke luar jendela, melewati bahu Helene. Bola matanya bergulir-gulir gelisah, loncat-loncat dari satu obyek ke obyek lain, dan lupa apa yang dilihatnya barusan.
Ia ingat semasa tak takut risiko. Rasanya suka saja melakukan sesuatu, setidaknya ia anggap sesuatu yang mulia saat itu, menggalang kesadaran buruh-buruh pabrik perempuan untuk tahu hak-haknya. Hak untuk diberi upah layak dan lingkungan kerja yang baik.
Hati Sadrah teriris saat berkunjung ke bilik para buruh, yang dihuni berlima, di tepi selokan dan pembuangan sampah, tempat lalat dan tikus berpesta pora, menghabiskan makanan sisa. Mereka tidur bersama di dipan renta, dekat kompor minyak tanah, dengan bau ikan asin dan cabe mentah di cobek, menu makan malam mereka nyaris setiap hari, yang belum dicuci, karena air yang digilir jamnya, lebih baik untuk minum. Upah mereka sungguh tidak layak untuk hidup.
Selanjutnya bersama mereka, Sadrah berdemontrasi di depan gedung MPR, di depan Istana Negara, di Bundaran Hotel Indonesia, di tempat-tempat strategis yang mudah dilihat siapa saja, termasuk para diplomat asing yang berkantor di wilayah itu.
Perusahaan makanan, garmen, pabrik sepatu lumpuh, tak bisa memenuhi pesanan. Beberapa pengamat memberi komentar hati-hati. Katanya, ia setuju gaji buruh dinaikkan. Tapi tolong, dalam kondisi negeri seperti ini, jangan banyak demo dulu. Pengusaha dari luar bakal tak sudi menanam investasi. Pengusaha bakal lari ke negeri Cina, yang buruhnya dibayar murah.
Hingga satu malam, empat orang pria bertopeng menculiknya, di depan rumah kosnya, sepulang demontrasi. Membawanya dengan mobil, ke satu tempat entah di mana. Kedua mata Sadrah ditutup, tangan, kaki, dan mulut Sadrah diikat. Sadrah lumpuh tak berdaya, saat ia diperkosa, secara bergilir. Esoknya tubuh Sadrah yang pingsan ditemukan seorang petani wortel tanpa identitas. Biadab!
Siapa pelakunya? Sampai kini tetap tanpa jejak, tak tertangkap. Mungkin file-file tentang peristiwa itu sudah di taruh paling bawah, di atas tumpukan file baru dengan peristiwa serupa, perkosaan. Orang mengeluarkan pendapat berbeda tentang si pemerkosa, mungkin antek-antek pengusaha yang tak suka pada aktivitas Sadrah, mungkin berandalan biasa, mungkin anak-anak muda yang sedang mabuk, dsb. Selaksa kemungkinan yang terbuka, tak ada artinya bagi Sadrah.
”Kamu baik-baik saja?” Helena cemas melihat wajah sadrah yang mengetat, sorot mata ngilu menahan sakit, dengan nafas tersengal-sengal. Ingatan pada malam jahanam itu telah membuat ia kembali merasakan emosinya meluap-luap di dada, di hatinya yang serasa ditusuki jarum, sakit pada ketidakberdayaannya, pada keinginannya untuk mati!
Sadrah menarik nafas panjang, menahannya, dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Ia telah belajar untuk mengendalikan emosinya agar tak liar. ”Helene, aku tak akan pernah kembali ke negeriku, meski aku rindu keluargaku. Tak akan pernah!” Suaranya lirih, merintih.
Helena terpana.
Bus berada di atas jembatan layang. Di bawah sana tampak taman kota yang pepohonannya rindang dan kemilau oleh daun-daun, merah, kuning, dan coklat. Warna musim gugur yang mempesona mata, sebelum tiba musim dingin, di mana tanah akan dilapisi salju putih semata ”Bukan, bukan kerena aku suka daun-daun di musim gugur, ” tambah Sadrah mengatupkan kedua matanya.
Ingin sekali ia bercerita pada Helena untuk melegakan dadanya. Tapi betapa sulit bercerita tentang peristiwa yang membuatnya teraniaya dalam kesakitan yang menghimpit seluruh perasaan dan pori-porinya.
”Tak perlu kau ceritakan jika kau tak mampu,” ucap Helena, pengertian. ”Helene, satu waktu, jika kita masih ketemu, aku akan cerita tentangku, tentang tragedi yang menimpaku. Tentang mengapa aku meminta suaka ke negeri ini dan menetap di negeri ini karena aku tak punya pilihan!”
Bus nomor 211 masuk highway 20, menuju pusat kota. Tak ada lagi penumpang yang bisa berhenti hingga tiba di halte akhir, dekat statsiun bawah tanah, dekat pusat perbelanjaan, tempat Sadrah bekerja sebagai cleaning service di food court, bergaji 9.00 dolar sejam, delapan jam sehari, lima hari seminggu, selama dua tahun sudah.
Tugasnya adalah menyapu, mengepel, melap meja yang ditinggalkan berantakan, lalu memeriksa tempat sampah, membuangnya kalau sudah penuh dan mengganti dengan plastic sampah baru. Tugasnya adalah menjamin kamar mandi senantiasa bersih, sabun untuk mencuci tangan tersedia, dan tisu kamar mandi tidak habis.
Hari pertama bekerja, kulit tangannya melepuh oleh cairan pembersih karena ia lupa pakai kaos tangan karet. Hari pertama kerja badannya pegal linu, jemari tangannya kaku saat bangun tidur. Di rumah orangtuanya dulu, ada Sum yang bantu-bantu masak, ngepel, ngelap, dan mencuci baju. Tugas Sadrah hanya membereskan tempat tidur. Di rumah kosnya dulu, ada Yuk Ti, yang seminggu dua kali menyapu dan mengepel kamar. Mencuci dan menyetrika baju.
Montreal Feb, 2006
Cerpen: Ida Ahdiah
Sumber: Republika, Edisi 03/19/2006