Arsip untuk kasih sayang

Pembagian Gagasan

Posted in Pengetahuan Perolehan with tags , , , , , on Februari 3, 2013 by isepmalik

Dari satu perspektif, gagasan dapat dibagi menjadi dua: universal dan partikular: “Gagasan universal” adalah konsep yang menyantirkan sekian banyak hal dan benda, seperti konsep manusia, yang dapat diterapkan pada jutaan individu. Sebaliknya, “gagasan partikular” adalah bentuk mental (mental form) yang cuma menyantirkan satu maujud, seperti bentuk mental tentang Socrates. Gagasan universal maupun partikular, mengikuti dasar pembagian lain, dapat digolongkan menjadi beberapa tipe. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai bagian-bagian tersebut.

  • Gagasan-gagasan indriawi, yaitu gejala-gejala sederhana yang terdapat dalam jiwa sebagai hasil dari hubungan antara organ-organ indra dan kenyataan-kenyataan material, seperti citra pemandangan yang kita lihat dengan mata atau suara yang kita dengar dengan telinga. Kelangsungan gagasan ini sepenuhnya bergantung pada kelangsungan kontak dengan jagat luar. Begitu kontak itu terputus, gagasan-gagasan ini pun akan menghilang dalam sekejap (misalnya dalam sepersepuluh detik).
  • Gagasan-gagasan khayali (imaginary ideas), yakni gejala-gejala sederhana dan khas dalam jiwa yang secara langsung diakibatkan oleh timbulnya gagasan-gagasan indriawi dan hubungan dengan jagat luar. Berbeda dengan gagasan indriawi, kelangsungan gagasan khayali tidak bergantung pada hubungan dengan jagat luar. Sebagai misal, citra mental mengenai pemandangan kebun yang menetap dalam jiwa kendati kedua mata kita telah terpejam, dan dapat kita ingat kembali bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu.
  • Gagasan-gagasan kewahaman (al-wahamiyyah atau ideas of prehension)[1]: Para filosof menyebutkan adanya jenis lain gagasan partikular yang terkait dengan makna-makna partikular, seperti permusuhan antarbintang yang menyebabkan mereka saling menjauh. Sebagian filosof memperluasnya untuk mencakup segenap pengertian dan makna partikular lainnya, termasuk perasaan kasih sayang (affection) dan benci (enmity) dalam diri manusia.

Tak ayal lagi, konsep-konsep universal seputar kasih sayang dan kebencian pada hakikatnya tergolong sebagai gagasan-gagasan universal, dan bukan gagasan-gagasan partikular. Afeksi dan kebencian dalam diri pelaku persepsi sebenarnya adalah pengetahuan presentasional akan kualitas-kualitas jiwa, dan bukan termasuk dalam pengetahuan perolehan.

Perasaan kita tentang kebencian pihak lain, sesungguhnya bukanlah perasaan langsung yang mengemuka tanpa perantaraan (bukan pengetahuan presentasional), melainkan terjadi melalui perbandingan keadaan diri kita dengan orang lain yang berada dalam situasi dan kondisi sama. Akan halnya persepsi-persepsi binatang, agaknya kita masih perlu memperbincangkannya lebih panjang dan tidak bisa kita lakukan pada kesempatan ini.

Yang dapat kita terima sebagai bagian gagasan partikular ialah gagasan yang ditimbulkan oleh keadaan-keadaan jiwa yang sewaktu-waktu dapat kita ingat kembali, mirip dengan gagasan khayali dalam kaitannya dengan gagaan indriawi. Contohnya, ingatan tentang ketakutan tertentu yang mengemuka pada saat tertentu atau afeksi tertentu yang muncul pada saat tertentu. Harus dicatat bahwa adakalanya gagasan-gagasan wahm digunakan untuk mengacu pada gagasan-gagasan yang tidak bersandarkan pada realitas apapun dan adakalanya ia juga dimaksudkan sebagai “fantasi” (al-tawahhum).

(Sumber: M. Taqi Mishbah Yazdi. (2003).  Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan).


[1] Lihat, Parvis Morewedge, The Metaphysica of Avicenna (Ibn Sina), Routledge & Kegan Paul, 1973, h. 321—penerj. Inggris.

Tujuan Filsafat

Posted in Kedudukan Filsafat with tags , , , , , on November 18, 2012 by isepmalik

Tujuan pendek dan langsung segenap ilmu ialah menyadarkan manusia akan pelbagai masalah yang terungkap dalam ilmu tersebut, dan memuaskan dahaga kodratinya untuk memahami kebenaran. Pasalnya, salah satu naluri paling dasar manusia adalah naluri mencari kebenaran atau keingintahuan yang tak berhingga dan tak terpuaskan. Pemuasan nisbi atas naluri ini akan memenuhi salah satu kebutuhan jiwa. Walaupun tidak semua individu mempunyai naluri ini dalam tingkat yang sangat aktif dan penuh gelora, ia tidak pernah sepenuhnya lenyap dan hilang.

Pada galibnya, setiap ilmu mempunyai pelbagai manfaat dan dampak tidak langsung dan berperantara atas kehidupan material dan spiritual manusia. Umpamanya, ilmu-ilmu alam memudahkan pemanfaatan alam dengan lebih besar dan meningkatkan kesejahteraan jasmani manusia, dan ia tersambung pada kehidupan alami dan hewani manusia dengan satu perantara. Matematika memiliki dua perantara untuk mencapai tujuan-tujuan seperti di atas, kendatipun dengan cara lain ia bisa memengaruhi kehidupan spiritual dan dimensi maknawi manusia. Yaitu, saat matematika berkelindan dengan soal-soal filsafat, ketuhanan, dan penghayatan gnostis (‘irfaniyyah) hati, dan saat ia membeberkan gejala-gejala alam sebagai imbas keteraturan, keagungan, kebijaksanaan, dan kasih-sayang Ilahi.

Hubungan dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu kefilsafatan lebih dekat ketimbang hubungannya dengan ilmu-ilmu alam. bahkan, ilmu-ilmu alam berhubungan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu kefilsafatan. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filosofis, dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan kita kepada Tuhan, Sang Mahabesar, sifat-sifat keindahan dan keagungan-Nya dan mempersiapkan kita untuk berhubungan dengan sumber pengetahuan, kekuasaan dan keindahan yang tak berhingga. Psikologi filosofis memudahkan kita untuk mengetahui ruh beserta sifat-sifat dan ciri-cirinya dan menggugah kesadaran kita terhadap esensi (jauhar) kemanusiaan. Ia memperluas cakrawala pandang kita terhadap hakikat diri kita, mengajak kita untuk melampaui alam fisik dan sekat-sekat ruang serta waktu. Juga, memahami kita bahwa hidup manusia tidaklah terbatas dan terkungkung pada kerangka kehidupan duniawi dan material yang sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan abadi dan kesempurnaan puncak.

Dalam rangka memperoleh semua pengetahuan tak terkira itu, sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah dipecahkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, filsafat pertama adalah kunci untuk membuka perbendaharaan tak terkira dan tak tertandingi yang menjajakan kebahagiaan dan keuntungan abadi tersebut. Itulah akar yang diberkahi dari “pohon yang baik”. Setiap saat ia membuahkan beraneka kebajikan spiritual dan intelektual serta kesempurnaan spiritual dan Ilahi yang tak ada habis-habisnya.a Dengan demikian, ia berperan sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi kesempurnaan dan kekemuncakan manusia.

Selain itu, filsafat juga membantu manusia menghalau was-was setan dan menampik gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari penyimpangan berpikir dan macam-macam jerat yang menjatuhkan; melindunginya dengan senjata pamungkas di arena adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang benar sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang keliru dan tidak sehat.

Demikianlah, selain dengan unik berperan positif dan membangun, filsafat juga berperan tak tertandingi bagi pertahanan dan penyerangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam penyebaran budaya Islam dan penggusuran budaya-budaya lainnya.

(Sumber: M. Taqi Mishbah Yazdi. (2003).  Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan).


a QS. Ibrahim (14):24-25—M.K.

Ketika Tidur dan Mengantuk

Posted in Fasal 22 with tags , , , , , on Mei 9, 2012 by isepmalik

Hal-hal yang terjadi ketika tidur dan ngantuk adalah hal yang berfaedah. Firman Allah dalam surah Al-Fath ayat 27:

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasulnya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjid Haram. Insya Allah dalam keadaan aman”

Allah berfirman atas lisan Nabi Yusuf as:

“Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang” (QS. Yusuf: 4).

Nabi saw bersabda:

“Setelah aku tidak ada lagi kenabian kecuali khabar-khabar gembira yang dilihat dalam mimpin oleh seorang mukmin atau ia diperlihatkan kepadanya”.

Firman Allah:

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat” (QS. Yunus: 64).

Sabda Nabi saw:

“Orang yang bermimpin melihat aku, berarti ia benar-benar melihat aku, sebab syaitan tidak akan menyerupai seperti aku”.

Dan menjadi orang-orang yang mengikutiku (mengikuti nabi) dengan cahaya syariat, tariqat, ma’rifat dan hakikat serta pandangan hati (basyirah). Allah berfirman:

“Aku dan orang-orang yang mengikuti-Ku mengajak (kamu) kepada Allah dengan basyirah” (QS. Yusuf: 108).

Syaitan tidak akan mampu menjelma menjadi semua cahaya-cahaya seperti ini, sebagaimana yang dikatakan oleh penyusun Kitab Al-Munzhir: “Syaitan tidak mampu menjelma bukan hanya pada Nabi saw saja, tetapi juga pada setiap saluran hikmat, kasih sayang dan hidayah, seperti para Nabi; para wali, Malaikat, Ka’bah, matahari, bulan, awan putih dan sebagainya, sebab syaitan adalah penyaliran sifat Al-Qahru (Yang Memaksa); ia tidak akan menjelma kecuali pada bentuk nama-nama yang menyesatkan. Orang yang berada pada penjelmaan nama-nama Al-Hadi (Pemberi Petunjuk) tidak akan dapat menjelma dalam penjelmaan Al-Mudhil, karena sesuatu yang berlawanan tidak akan muncul pada lawannya, seperti api dengan air. Api tidak akan beralih rupa menjadi air. Begitu pula sebaliknya, air tidak akan beralih rupa menjadi api, sebab antara air dan api terdapat perbedaan zat yang saling bertolak belakang. Dan Allah membedakan antara Hak dan Batil, antara benar dan salah, sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Ra’d ayat 17:

“Demikianlah Allah memberi perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil”.

Adapun penjelmaan syaitan dengan rupa ketuhanan dan pengakuan ketuhanan, hal itu dapat terjadi karena sifat Allah adalah: Jalal dan Jamal (Agung dan Indah).

Syaitan dapat menjelma dengan sifat Jalal, karena sifat Jalal adalah penjelmaan dari nama Al-Qahru. Dan lahirnya penjelmaan ketuhanan dan pengakuan ketuhanan adalah bersumber dari nama Al-Mudhillu saja. Syaitan menjelma dengan rupa ketuhanan bersumber dari Al-Mudhil saja. Ia tidak akan mampu menjelma dengan penjelmaan nama yang terpadu, karena nama yang terpadu bersumber dari petunjuk.

Dalam hal ini para ahli tariqat mempunyai pembahasan yang sangat luas. Firman Allah: “Dengan penglihatan hati (basyirah) aku dan orang-orang yang mengikutiku (setelahku)”, menunjukkan kepada Mursyid Pewaris Sempurna, yaitu Al-Irsyad. Kalimat “setelahku” dari ayat di atas adalah orang-orang yang mempunyai pandangan batin, seperti pandangan batinku dari satu arah, yaitu orang-orang yang mendapat wilayah-kamilah, yaitu para wali. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah: “Waliyyam Mursyida” (pemimpin yang dapat memberi petunjuk) (QS. Al-Kahfi: 17).

Ketahuilah, mimpi itu ada dua macam: 1. Mimpi Afaqi dan 2. Mimpi Anfusi. Masing-masing terbagi dua, anfusi dari akhlak yang terpuji atau akhlak yang tercela, seperti melihat bidadari, istana-istana, pemuda-pemuda pelayan surga, lapangan cahaya yang putih, seperti matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Ini semua berkaitan dengan sifat hati.

Adapun yang berkaitan dengan nafsu muthma’innah, seperti bermimpi melihat hewan yang halal dagingnya atau burung-burung; karena kehidupan nafsu muthma’innah di surga bersumber dari jenis-jenis tadi, seperti kambing dan burung-burung.

Adapun sapi maka ia hanya datang dari surga kepada Nabi Adam as untuk bertani di dunia. Unta datang dari surga untuk memperindah Ka’bah yang zahir dan yang batin. Kuda sebagai alat untuk perang kecil dan perang besar. Semua itu adalah untuk akhirat. Nabi saw bersabda:

“Kambing itu diciptakan dari madu surga, sedangkan sapi diciptakan dari za’faran surga. Unta dari cahaya surga. Kuda dari angin surga.

Maka Bighal itu diciptakan dari sifat muthma’innah yang terendah. Bila seseorang bermimpin melihat Bighal, maka ia berarti malas dalam beribadah dan nafsunya berat.

Untuk keberhasilan upaya-upaya ini harus dilakukan dengan taubat dan amal saleh, maka ia akan mendapatkan imbalan yang baik.

Keledai diciptakan dari batu-batu surga. Ia diciptakan untuk keperluan Nabi Adam as dan keturunannya di dunia dalam rangka mencapai darajat akhirat.

Adapun yang berbicara dengan ruh yang merupakan khitab manusia yang sangat elok itu adalah menjelma dari cahaya ketuhanan; karena ahli surga seluruhnya dalam rupa yang sangat indah, sabda Nabi saw:

“Ahli surga adalah elok. Mereka bercelak (memakai sifat mata)”.

Sabda Nabi saw:

“Aku melihat Tuhanku dalam rupa pemuda yang sangat elok”.

Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan Hadits ini adalah Tajalli, yaitu Tuhan bertajalli dengan sifat ketuhanan pada cermin ruh yang disebut Tiflul Ma’ani, ia adalah pembimbing jasad dan menjadi perantaraan antara manusia dengan Tuhan.

Imam Ali ra berkata: “Kalau tidak ada bimbingan Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku, bimbingan batin ini ada karena adanya pembimbingan zahir, yaitu ahli talqin, seperti para Nabi, para wali, mereka adalah para penerang hati dan jasad. Bila telah dimbimbing dengan ruh-ruh ini, maka tidak akan terbimbing lagi oleh ruh yang lain, firman Allah:

“Allah mendatangkan ruh atas perintahnya kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari hamba-hamba-Nya” (QS. Al-mu’min: 15).

Mencari Mursyid itu wajib untuk mencapai ruh yang menimbulkan hidupnya hati dan mengenal Tuhan. Fahamilah!

Imam Ghazali berkata: “Sebenarnya boleh terjadi seseorang bermimpi melihat Tuhan di waktu tidur dalam rupa yang sangat indah dan ukhrawi”.

Ini berdasarkan ta’wil tersebut tadi. Kata Imam Ghazali pula: “Pembimbing ruh ini adalah sebuah perumpamaan yang diciptakan oleh Allah swt sebanding dengan kesiapan orang yang melihat itu sendiri. Yang terlihat dalam mimpi itu bukan hakikat Zat Allah, karena Zat Allah bersih dari segala rupa”.

Begitu pula melihat Nabi saw, tolok-ukurnya adalah sama. Nabi boleh saja dilihat dalam mimpi dengan rupa yang berbeda-beda sesuai dengan kadar kemampuan yang bermimpi itu sendiri.

Hanya orang-orang yang mendapat sebutan “Pewaris Sempurna”lah yang akan dapat melihat hakikat Nabi Muhammad, yaitu pewaris ilmunya, amalnya, perlakuannya, penglihatan hatinya serta shalat zahir dan batinnya bukan pada keadaan Nabi.

Begitu pula dalam Syarah Muslim dijelaskan: “Melihat Allah dengan rupa manusia dan cahaya itu merupakan ta’wil dan qiyas pada penjelmaan sifat-sifat seperti: Halnya Allah menjelmakan api dari pohon anggur kepada Nabi Musa as dan dari sifat Kalam-Nya”. Allah berfirman: “Apa yang ada pada tanganmu, ya Musa!” Api tersebut adalah cahaya; disebut api karena Nabi Musa as menduga bahwa itu adalah api, sebab pada saat itu beliau sedang mencari-cari api. Manusia tidak mengetahui lagi martabat yang paling rendah daripada kayu. Maka tidak heran kalau terjadi tajalli dengan sifat-sifat Allah pada hakikat kemanusiaan, setelah membersihkan hati. Dari sifat-sifat kehewanan berpindah kepada sifat-sifat kemanusiaan, seperti halnya penjelmaan yang terjadi pada para wali.

Abu Yazid Al-Bustami ra berkata ketika beliau melihat sebuah tajalli: “Maha suci aku, betapa agungnya aku”. Sayyid Al-Junaid ra berkata: “Di dalam jubahku tidak ada selain Allah”. Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Dalam maqam ini terdapat rahasia-rahasia yang luar biasa bagi ahli tasawuf yang sangat panjang lebar penjelasannya.

Dalam bimbingan ruhani selalu ada keserasian. Orang yang di tingkat dasar tidak mempunyai keserasian antara dia dengan Allah dan antara dia dengan Nabinya; maka ia harus berada di bawah bimbingan orang yang telah mendapat bimbingan Allah. Orang di tingkat dasar hanya mempunyai keserasian dengan seorang wali, karena keserasian pada segi sama-sama manusia. Seperti halnya Nabi Muhammad saw di saat hidupnya. Di saat Nabi hidup di dunia manusia tidak memerlukan bimbingan orang lain, tetapi setelah beliau berpindah ke alam akhirat, maka ruh putuslah sifat keterkaitan dan beliau berada pada maqam Tajarrud Murni.

Begitu pula para aulia yang sudah terkait di akhirat, mereka tidak akan memberikan keirsyadan pada tujuannya (tidak langsung membimbing manusia lagi). Fahamilah: kalau engkau seorang ahli pemahaman. Kalau kamu tidak mampu memahami, carilah kefahamannya dengan riyadhah, untuk mencari cahaya yang akan meliputi nafsu kegelapan, kaerna pemahaman seperti ini hanya dapat dihasilkan dengan cahaya, bukan dengan lawan cahaya; karena cahaya akan datang dari tempat yang terhias dan memancar. Oleh karena itu orang yang di tingkat dasar tidak akan memiliki keserasian.

Adapun orang yang telah mencapai darajat kewalian di waktu hidup, maka ia memiliki keserasian dari dua sudut: Pertama: Ta’liqiyah (keterkaitan, dan Kedua: Tajridiyah (menyendiri dari sisi pewaris sempurna).

Maka ia mendapatkan wilayah di waktu hidup dengan wilayah ubudiyah nabawiyah dari Nabi Muhammad saw dan ia menyebarluaskannya di kalangan manusia. Fahamilah! Di belakang semua ini ada rahasia yang dalam yang dapat ditemukan hanya oleh ahlinya, firman Allah:

“Keagungan itu hanyalah bagi Allah, dan Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min” (QS. Al-Munafiqun: 8).

Adapun bimbingan arwah adalah Ruh Jismani membimbing pada jaad. Ruh Rowani membimbing di dalam hati. Ruh Sultani membimbing di dalam mata hati. Ruh Al-Qudsi membimbing sirri yang merupakan perantaraan antara manusia dengan Allah; dan sebagai penterjemah dari Allah kepada makhluk, karena Ruh Al-Qudsi adalah keluarga Allah dan Mahram-Nya.

Adapun mimpi yang muncul dari akhlak tercela bersumber dari nafsu Amarah, Lawwamah, dan Mulhimah. Semua ini akan terlihat dalam mimpim berbentuk binatang buas, seperti: macan (harimau), singa, serigala, beruang, anjing, babi, dan sebagainya; seperti kelinci, musang, kucing, alap-alap; dan binatang-binatang yang menyakiti seperti ular, kalajengking, tawon dan sebagainya. Sifat-sifat tercela ini merupakan sifat-sifat yang dijaga dan dijauhkan dari perjalanan ruh.

Harimau melambangkan sifat ujub, yaitu sombong kepada Allah merasa bsar diri di harapan Allah. Firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadap-Nya, sekali-kali bagi mereka tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak pula mereka masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum” (QS. Al-A’raf: 40).

Begitu pula balasan bagi orang yang berbuat sombong kepada manusia. Singa melambangkan sifat sombong dan mengagung-agungkan diri pada manusia lain. Beruang melambangkan sifat pemarah dan selalu ingin mengalahkan orang yang di bawahnya. Serigala melambangkan sifat suka memakan barang yang haram. Anjing melambangkan sifat hubbud dunia (cinta dunia), memaksa dan marah karena urusan duniawi. Babi melambangkan sifat dendam, dengki, tamak dan mengikuti keinginan syahwat. Kelinci melambangkan sifat suka berhelah dan tipu daya dalam pengamalan urusan duniawi.

Musang seperti halnya kelinci, tetapi musang biasanya lebih banyak lupanya. Alap-alap melambangkan kecurigaan yang didasari oleh kebodohan dan mencintai kedudukan dan keagungan. Kucing melambangkan sifat kikiir dan munafik. Ular melambangkan sifat menyakiti orang lain dengan lisan seperti marah dan menjelek-jelekkan orang lain dan bohong. Juga terlihat di dalam mimpinya hewan-hewan buas yang man’nawi secara hakiki, itu semua dapat diketahui oleh ahlinya dengan pandangan hati.

Kalajengking melambangkan sifat suka berisyarat dengan kedipan mata, menakut-nakuti dan mengadu-adu. Tawon melambangkan sifat suka menyakiti orang lain dengan lisan secara samar (sindiran); bahkan terkadang ular pun menunjukkan permusuhan dengan manusia.

Bila seorang salik bermimpi memerangi binatang-binatang tadi dan ia tidak mampu mengalahkan, berarti ia harus meningkatkan perjuangannya dengan ibadah dan zikir, sehingga ia mampu mengalahkan sifat-sifat kebinatangan tadi dan melumpuhkannya, bahkan menghancurkan; dan menggantikannya dengan sifat-sifat manusia. Jika ia mampu menghancurkannya secara total, berarti ia sudah meninggalkan keburukan-keburukan secara total. Firman Allah tentang hak seorang ahli taubat:

“Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka” (QS. Muhammad: 2).

Dan bilamana seorang salik bermimpi melihat binatang-binatang tadi berubah wujud menjadi manusia, ini menunjukkan bahwa keburukannya telah diganti dengan kebaikan. Sesuai dengan firman Allah tentang hak-hak orang yang taubat:

“Dan orang-orang yang taubat, beirman dan beramal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan” (QS. Al-Furqan: 70).

Yang berarti dia sudah lepas dari sifat-sifat yang menyakitkan. Dan bilamana seseorang sudah mencapai maqam ini, maka ia tidak boleh lengah, sebab terkadang kekuatan nafsu akan muncul kembali; bahkan terkadang menghancurkan nafsu muth’mainnah. Oleh karena itu Allah memerintahkan agar seseorang hamba menjauhi hal-hal yang dilarang dalam seluruh waktu, selama manusia hidup di dunia. Terkadang Nafsu Amarah terlihat di dalam mimpi dengan rupa orang-orang kafir. Nafsu Lawwamah dengan rupa seorang Yahudi. Nafsu Muthma’innah dengan rupa seorang Nasrani atau seorang ahli bid’ah.

Kebetulan dan Keburukan dalam Perspektif Ibn Sina (1)

Posted in Aristoteles, Kebetulan dan Keburukan with tags , , , , on Januari 30, 2012 by isepmalik

Bab empat belas dalam al-Syifa tentang Physics membahas isu berbeda tetapi berhubungan dengan konsep kebetulan. Bab ini menyajikan dua pembahasan mengenai hubungan kebetulan dengan kebijaksanaan Tuhan dan kebetulan dengan asal dunia. Seperti Aristoteles, Ibn Sina pada bagian akhir argumennya berusaha menunjukkan bahwa alam secara umum bertindak menuju akhir. Dalam  rangka mempertahankan pandangan teleologis tentang alam, ia menjelaskan masalah materi dan juga kerusakan. Ia menjelaskan dan mengembangkan pandangan yang biasanya digunakan Plotinian. Dengan demikian, ia memperkenalkan argumen yang didasarkan pada pandangan Aristotelian Neoplatonik/ Plotinian mengenai materi dan kerusakan sebagai sesuatu yang negatif.

Sebelum mengemukakan pandangannya tentang kebetulan, Ibn Sina menyebutkan empat aliran filsafat pada masa Kuno dan menganalisisnya dengan pendekatan argumen Aristoteles. Ibn Sina menemukan kelemahan masing-masing aliran filsafat tersebut. Selain menjelaskan sifat sebenarnya dari kebetulan, ia menunjukkan pada bagian kedua argumennya bahwa alam semesta secara keseluruhan dan bagian-bagiannya tidak muncul secara kebetulan (acak) melainkan oleh kehendak yang bertujuan dan sifat kasih sayang, orang Muslim mengindentifikasinya dengan kehendak Ilahi. Masalah paling sulit yang harus Ibn Sina atasi adalah pertanyaan tentang bagaimana perubahan kebaikan menjadi kerusakan (deformasi) dan kehancuran ke dalam model harmonik dari alam semesta, khususnya peran materi dalam proses tersebut.

Pertama, ia menyebutkan kelompok yang menyangkal bahwa antara keberuntungan dan kebetulan disertai penyebab (illa).[1] Kelompok ini berpendapat bahwa:

Mustahil bagi kita menemukan penyebab sesuatu, mengamatinya, menghindarinya, dan menyangkal bahwa ia adalah penyebab (illa), dengan mencari untuk [sesuatu] alasan yang tidak diketahui antara keberuntungan dan kebetulan. Sebab, jika seseorang menggali sumur dan kemudian menemukan harta, maka orang bodoh akan mengatakan bahwa dia beruntung; jika ia tergelincir dan kakinya patah, maka ia dikatakan bernasib sial. [Kelompok ini menyatakan bahwa] orang ini sama sekali tidak beruntung. Sebaliknya, siapapun yang menggali cukup dalam untuk mencapai sesutu di dalamnya, ia akan mencapai hal itu; dan orang yang berdiri di tepian yang licin, ia akan tergelincir. Jika demikian [menurut beberapa klaim], begitu seseorang pergi ke pasar untuk melakukan bisnis dan mencari orang yang berutang, maka ia akan memperoleh piutangnya, ini menjadi hasil dari keberuntungan. [Kelompok ini, yang menolak kebetulan] menyangkal hal tersebut; sebaliknya peristiwa ini [terjadi] karena ia bermaksud dan dengan indra penglihatannya menemukan orang yang berutang.[2]

Kenyataan bahwa seseorang yang menggali sumur menemukan harta karun tidak dapat disebut sebagai contoh dari keberuntungan; untuk dapat dipahami bahwa menggali sumur pasti akan mengarah kepada pencarian harta karun jika harta karun tersebut ada. Di sini ada penyebab yang jelas. Ibn Sina keberatan bila faktor tujuan dan penyebab final diabaikan, tentu saja keberatan yang sama mendasari kritikan dari aliran lain. Lebih lanjut, pengikut aliran ini mengklaim bahwa:

Bahkan jika tujuannya untuk pergi bukan begitu, itu tidak berarti pergi ke pasar bukan penyebab nyata untuk menemukan orang yang berutang, maka bagi suatu tindakan mungkin untuk memiliki banyak tujuan. Memang tindakan harus demikian, tetapi terjadi, [sehingga] pelaku menetapkan satu tujuan sebagai tujuannya, dan [tujuan] yang lainnya ditangguhkan karena ia menetapkan satu tujuan [sebagai tujuannya] dengan mengabaikan yang lain. Jika orang ini menyadari bahwa orang yang berutang ada di sana, lalu pergi mencarinya dan memperoleh piutangnya, hal itu berarti apa yang telah terjadi bukan karena keberuntungan.[3]

Argumen ini sebenarnya sangat dekat dengan Ibn Sina, karena ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki sebab yang pasti, namun ia ingin menunjukkan bahwa penyebab final memainkan peran dalam hasil suatu tindakan. Sebagaimana telah kita lihat, Ibn Sina tidak mengabaikan sama sekali kebetulan sebagai ilusi belaka. Ia membantah kelompok ini mengenai penyebab efisien, karena penyebab efisien ini menegaskan hubungannya dengan penyebab final. Juga, kebetulan terikat dengan harapan tindakan dari subjek, dan harapan ini atau penyebab final esensial dari subjek memiliki peran aktif:

Apakah Anda tidak melihat bahwa niat akan membuat orang bertindak dalam suatu peristiwa yang sering dan langka terjadi lainnya? Orang pergi kepada yang berutang setelah mengetahui keberadaannya, tetapi orang yang tidak mengetahui [keberadaannya] ketika pergi ke suatu toko seringkali tidak menemukan orang yang berutang kepadanya. Karena jika perbedaan dalam niat menyiratkan perubahan dalam penilaian frekuensi masalah ini, maka penilaian akan menentukan apakah masalah ini terjadi secara kebetulan atau tidak.[4]

Aristoteles menyatakan bahwa kebetulan yang terjadi dikesampingkan dalam peristiwa yang selalu atau sering terjadi; mengikuti argumen ini Ibn Sina menyatakan bahwa kejadian langka adalah yang paling tak terduga, ia merespon kelompok pertama ini yang menyatakan bahwa niat subjek tidak memainkan peran penting dalam menentukan frekuensi dari suatu tindakan sehingga di situ terletak peristiwa kebetulan atau tidak. Jika niat atau penyebab final—karena baginya niat adalah penyebab final meskipun kadang-kadang hasil akhir mungkin belum diniatkan—menentukan keberhasilan, maka frekuensi tindakan juga menentukan apakah itu muncul secara kebetulan.

Kelompok kedua membela bahkan memuji adanya kebetulan, dan percaya hal itu berasal dari Tuhan dan ajaib. Hal ini tidak dapat dipahami oleh akal. Pandangan ini hanya disebut secara singkat dan Ibn Sina mengabaikan dengan tidak memberikan bantahan secara rinci.[5]

Kelompok ketiga yang diwakili Demokritus dan para pengikutnya menyebutkan bahwa kebetulan merupakan penyebab alami. Dunia muncul secara kebetulan, bukan oleh suatu desain. Makhluk terbentuk ketika partikel terkecil yang bergerak dalam ruang hampa saling melakukan tumbukan. Hal ini menjelaskan asal-usul dunia dan bagian-bagiannya, dan tumbukan ini terjadi secara kebetulan.

Kelompok keempat diwakili Empedokles dan para pengikutnya tidak mengklaim bahwa dunia keseluruhan muncul secara kebetulan. Tetapi makhluk (partikular) muncul secara kebetulan dari unsur-unsur alam, khususnya materi.

Empedokles dan pengikut pandangannya menyatakan bahwa partikular muncul secara kebetulan yang bercampur dengan kebutuhan. Mereka berpikir bahwa materi muncul karena kebetulan dan memiliki bentuk sesuai kebutuhan. Misalnya, mereka mengatakan bahwa gigi seri bagian tengah tidak tajam untuk memotong makanan, tapi kebetulan ada makanan yang memerlukan ketajamannya, akibatnya bagian gigi tersebut menjadi tajam karena kebutuhan. Dalam masalah ini mereka mengemukakan argumen yang lemah: Bagaimana alam dapat bertindak demi sesuatu ketika ia tidak memiliki pembicaraan (rawiya)? Mustahil alam bertindak demi sesuatu yang tidak akan ada deformasi, pertumbuhan, dan kerusakan sama sekali di dalamnya. Kondisi ini bukan untuk sebuah tujuan (bi-qasd), tetapi begitu terjadi masalah yang mengarah disposisi (hala) demikian maka peristiwa akan diikuti oleh materi. Dan semua peristiwa alam yang terjadi melibatkan beberapa keuntungan.[6] Apapun unsur yang muncul dibentuk oleh prinsip-prinsip secara kebetulan dan bentuk dari komposisi kebetulan itu sesuai untuk kelangsungan hidup.[7] Bahkan jika mengakui pertumbuhan dan kemunculan itu mengikuti suatu ketertiban, maka sebaliknya akan ada ketertiban yang mengakibatkan kerusakan yang tidak kalah hebatnya dengan ketertiban tersebut; itu adalah kerusakan ketertiban dari awal hingga akhir, sebaliknya [partikular sesuai] untuk ketertiban dari pertumbuhan. Maka akan diperlukan kerusakan demi sesuatu, misalnya kematian.[8]

Argumen ini seperti yang pertama; menolak peristiwa alam yang memiliki tujuan. Karena jika sesuatu yang survive itu karena kebetulan sesuai untuk kelangsungan hidupnya, bukan karena dihasilkan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Kelangsung hidup dari hal-hal yang dilakukan adalah bertahan secara serampangan sejauh itu bukan karena tindakan yang bertujuan. Menurut pandangan ini, jika alam benar-benar bertindak sesuai dengan tujuan dan dengan maksud untuk beberapa manfaat, maka kematian yang bukan merupakan kejadian langka tetapi pasti terjadi bagi semua makhluk tentu tidak akan ada. Jika proses alami menuju kematian, maka ia akan menjadi tujuan. Dalam interpretasi ini semuanya mengikuti materi, bukan disebabkan tujuan atau penyebab final. Kesimpulan ini menimbulkan banyak masalah terutama mengenai teleologi di alam dan akibatnya; terutama bagi filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan juga anggapan bahwa dunia dikuasai sesuai dengan desain kasih sayang Tuhan. Argumen Empedoklean menggambarkan bahwa dunia tidak memiliki nilai-nilai “etis” atau penyebab final. Proses secara umum dan  kerusakan bukan hanya mengenai baik atau buruk, ia bersifat sederhana dengan proses seperti itu.

Ibn Sina membantah semua argumen tersebut. Ketika melakukan bantahan, ia menggali lebih dalam mengenai hubungan antara empat penyebab dengan konsep kebetulan.[9]


[1] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 60. (Al-Yasin, hal: 118)

[2] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 60. Bacalah: rijlu-hu, kull, dan kana dalam Al-Yasin, hal: 118. Contoh pertama dibuat oleh Ibn Sina, Aristoteles mencontohkan tentang orang yang pergi ke pasar dan kebetulan menemukan orang yang berutang. Lihat: Physics, 196a3-196a5, al-Tabi’iyyat, hal: 111-112.

[3] Ibid, hal: 60-61. (Al-Yasin, hal: 118). Menurut Sorabji dalam studinya tentang Aristoteles menyatakan bahwa contoh ini seperti ditunjukkan Demokritus: “Kami menyatakan mengenai hubungan seorang pria menemukan harta karun ketika menggali lubang untuk tanaman. Demokritus berkata (atau akan mengatakan) di sana ada penyebab, yaitu menggali atau menanam zaitun. Dia telah menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena kebutuhan. Dan salah satu sumber menyatakan kepadanya bahwa kebetulan adalah sebab dan disebut “kebetulan” hanya karena penyebabnya tidak jelas bagi pikiran manusia,” Necessity, Cause, and Blame, hal: 17.

[4] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 68. Bacalah: laysa dalam Al-Yasin, hal: 122.

[5] Ibn Sina membatas dirinya dalam mengomentari Aristoteles tentang kelompok ini dalam 196b5-196b7, hal: 116 dari versi terjemahan bahasa Arab. Sesuai edisi Ross tentang Physics karya Aristoteles, Stagirite merujuk kepada sekte Yunani Kuno yang populer dengan Dewi Fortuna, hal: 515. Pandangan yang sama diungkapkan oleh Judson, Aristotle on Necessity, hal: 179.

[6] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 69. (Al-Yasin, hal: 123).

[7] Ibid, hal: 61. (Al-Yasin, hal: 118-119).

[8] Ibid, hal: 69. (Al-Yasin, hal: 123).

[9] Aristoteles mengacu pada aliran filsafat yang berbeda dengan urutan sebagai berikut: aliran yang menolak kebetulan pada peristiwa apapun yang terjadi, aliran yang berpandangan bahwa kebetulan terjadi pada peristiwa tertentu, aliran yang menganggap pembentukan surga secara kebetulan, dan aliran yang mengganggap kebetulan sebagai tindakan Tuhan, lihat: Physics, 196a1-196b9, hal: 111-116 dalam versi terjemahan bahasa Arab.