Archive for the Bab 6 Category

Pemeriksaan Diri dan Dzikir kepada Allah SWT (3)

Posted in Bab 6 with tags , , , , , on Juni 25, 2012 by isepmalik

Di samping beberapa peringatan tentang penelitian sebelum bertindak, seseorang juga mesti dengan ketat menuntut pertanggungjawaban dirinya atas tindakan-tindakan masa lampaunya. Setiap malam ia mesti memeriksa hatinya berkenaan dengan apa yang telah ia kerjakan, demi melihat telah beruntung ataukah merugi ia dalam model ruhaninya. Inilah yang lebih penting, karena hati itu seperti rekanan dagang yang khianat yang selalu siap untuk menipu dan mengelabui. Kadang-kadang ia menampakkan perasaan mementingkan diri sendirinya dalam bentuk ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.

Seorang wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun, menghitung hari-hari dalam hidupnya dan ia dapati bahwa hari-harinya itu berjumlah 21.600 hari. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka aku, sekiranya aku melakukan satu dosa saja setiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri dari timbunan 21.600 dosa?” Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orang-orang datang untuk membangunkannya, mereka dapati ia telah mati.

Tetapi sebagian besar manusia bersifat lalai dan tidak pernah berfikir untuk meminta pertanggungjawaban dirinya sendiri. Jika bagi setiap dosa yang dilakukannya, seseorang menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah kosong, segera saja akan ia dapati rumah itu penuh dengan batu. Jika malaikat pencatat menuntut upah darinya bagi pekerjaan menuliskan dosa-dosanya, maka semua uangnya akan cepat sirna. Orang menghitung biji tasbih dengan rasa puas diri setiap kali mereka selesai menyebut nama Allah, tetapi tidak mempunyai tasbih untuk menghitung kata-kata sia-sia yang tak terbilang banyaknya yang telah mereka ucapkan. Oleh karena itu, Khalifah Umar berkata, “Timbang benar-benar kata-kata dan tindakan-tindakanmu sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti”. Ia sendiri sebelum beristirahat pada setiap malamnya biasa memukul kakinya dengan disertai rasa ngeri kemudian berseru, “Apa yang telah kau lakukan hari ini?” Abu Thalhah suatu kali shalat di sebuah kebun kurma ketika menampak seekor burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung jumlah sujud yang telah dilakukannya. Untuk menghukum dirinya karena kelalaiannya ini, ia memberikan kebun kurmanya kepada orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa sifat inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena itu mereka mengawasi dengan ketat dan menghukumnya untuk setiap kesalahan yang dilakukannya.

Jika seseorang mendapati dirinya bebal dan menolak sikap cermat dan sikap disiplin diri, ia mesti selalu bersama-sama dengan seseorang yang cakap dalam praktek-praktek seperti itu agar ia tertular antusiasme sang ahli tersebut. seorang wali biasa berkata, “Jika saya ogah-ogahan dalam melakukan disiplin diri, saya menatap Muhammad ibn Wasi, dan memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat saya, paling tidak untuk seminggu”. Jika seorang tidak bisa menemukan teladan sikap cermat seperti itu di sekitarnya, maka baik baginya untuk mempelajari kehidupan para wali. Ia juga mesti mendorong jiwanya!

“Wahai jiwaku, kau anggap dirimua cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu sebetulnya kau ini apa? Kau persiapkan pakaianmu untuk menutupi dirimua dari gigitan musim dingin, tapi tidak kau persiapkan diri untuk akhiratmu. Keadaanmu seperti seseorang yang di tengah musim dingin berkata, “Saya tak akan mengenakan pakaian hangat, tetapi percaya pada rahmat Tuhan untuk melindungi saya dari dingin”. Ia lupa bahwa bersamaan dengan menciptakan dingin, Allah menunjuki manusia cara membuat pakaian untuk melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu. ingatlah juga, wahai diri, bahwa hukumanmu di akhirat bukan karena Allah marah pada ketidaktaatanmu, dan jangan berpikir: “Bagaimana mungkin dosa saya mengganggu Allah?” Nafsumu sendirilah yang akan menyalakan kobaran neraka dalam dirimu. Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan penyakit pada tubuh orang itu, bukan karena dokter jengkel kepadanya karena melanggar nasihat-nasihatnya.

“Celakah kau, wahai diri, karena cintamu yang berlebihan kepada dunia! Jika kau tidak percaya pada surga dan neraka, bagaimana mungkin kau percaya pada mati yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu dan menyebabkan kau menderita oleh perpisahan itu sebanding dengan keterikatanmu pada kenikmatan duniawi itu. kenapa kau dicipta setelah dunia? Jika semuanya, dari timur sampai barat, adalah milikmu dan menyembahmu, toh dalam waktu singkat semuanya itu akan menjelma menjadi debu bersama dirimu, dan pemusnahan akan menghapuskan bahwa kau hanyalah memiliki sebagian sangat kecil dari dunia ini dan itu pun bagian yang kotor daripadanya, akankah kau begitu gila untuk menukar kebahagiaan abadi dengannya, pertama yang mahal dengan sebuah gelas yang terbuat dari lempung dan menjadikan dirimu bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu?”

Pemeriksaan Diri dan Dzikir kepada Allah SWT (2)

Posted in Bab 6 with tags , , , , , on Juni 23, 2012 by isepmalik

Abdullah bin Dinar meriwayatkan, bahwa suatu kali ia berjalan bersama Khalifah Umar di dekat Makkah ketika bertemu seorang anak laki-laki penggembala sedang menggembalakan sekawanan domba. Umar berkata kepadanya, “Juallah seekor domba padaku.” Anak laki-laki itu menjawab, “Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku.” Kemudian untuk mengujinya, Umar berkata, “Engkau kan bisa berkata kepadanya bahwa seekor serigala telah menyambar salah satu di antaranya, dan dia tidak akan tahu apa-apa mengenal hal itu?” “Tidak, memang dia tak akan tahu,” kata anak itu, “tapi Allah akan mengetahuinya.” Umar pun menangis dan mendatangi majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan kemudian membebaskannya sambil berkata, “Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini akan membuat bebas pula di akhirat.”

Ada dua tingkatan dzikrullah ini.

Tingkatan pertama adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain. Inilah tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali tak lagi butuh akan alat atupun penjaga terhadap dosa-dosanya. Terhadap zikir seperti inilah Nabi saw berkata, “Orang yang bangun di pagi hari hanya dengan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat.”

Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. “Saya mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, “Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap”. Saya berkata, “Tidakkah anda kesepian?” “Tidak”, jawabnya, “Allah dan dua malaikat bersama saya”. Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, “Mana di antara mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?” “Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya”, jawabnya. Kemudian saya bertanya, “Jalan ini datang dari mana?” Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, “Ya Rabbi, banyak Makhluk-Mu menghalang-halangi orang dari mengingat-Mu”.

Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, “Dari siapa anda belajar mempraktekkan ketenangan tafakur seperti ini?” Tsauri menjawab, “Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lubang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan”.

Ibnu Hanif meriawayatkan, “Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur seorang Syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam dzikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke Makkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata, “Saya meminta dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya”. Yang lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, “Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas salam anda”. Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya bersembahyang Ashar dan Maghrib bersama merka, kemudian meminta mereka memberi nasihat-nasihat ruhaniah. Yang muda menjawab, “Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk memberikan nasihat”. Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun terlontar dari kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian saya berkata dalam hati, “Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah, untuk memberi saya beberapa nasihat”. Yang muda mengkasyaf pikiran saya, kemudian sekali lagi mengangkat kepalanya. “Pergi dan carilah seseorang yang dengan mengunjunginya akan membuat anda mengingati Allah dan menanamkan rasa takut akan Dia di dalam hati anda, dan yang akan memberi anda nasihat melalui diamnnya, bukan lewat cakapnya”.

Itu semua adalah zikir para wali, yaitu berada dalam keadaan terserap keseluruhan dalam perenungan akan Allah.

Tingkatan kedua dari dzikrullah adalah zikir “golongan kanan” (ashabul yamin). Orang-orang ini sadar bahwa Allah mengetahui segala sesuatu tentang mereka dan merasa malu dalam kehadiran-Nya. Meskipun demikian, mereka tidak larut dalam pikiran tentang keagungan-keagungan-Nya, melainkan tetap sepenuhnya sadar diri. Keadaan mereka seperti seseorang yang tiba-tiba terpengarah di dalam keadaan telanjang dan dengan terburu-buru menutupi dirinya. Kelompok tingkatan pertama tadi menyerupai seseorang yang tiba-tiba mendapati dirinya di hadapan seorang raja dan merasa bingung serta kaget. Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan teliti semua hal yang terlintas dalam pikiran mereka, karena pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan dengan setiap tindakan: kenapa engkau melakukannya?; bagaimana kamu melakukannya?; apa tujuanmu melakukannya? Yang pertama ditanyakan karena seorang semestinya bertindak berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan atau badaniah belaka. Jika pertanyaan ini dijawab dengan baik maka pertanyana kedua akan menguji tentang bagaimana pekerjaan itu dilakukan secara bijaksana atau ceroboh dan lalai. Dan yang ketiga, pekerjaan itu dilakukan hanya demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh pujian manusia. Jika seseorang memahami arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi sangat awas terhadap keadaan hatinya dan terhadap bagaimana ia berpikiran sebelum akhirnya bertindak. Memperbedakan pikiran-pikiran itu adalah hal yang sulit dan musykil dan orang yang tidak mampu melakukannya mesti mengaitkan dirinya pada seorang pengarah ruhani yang bisa menerangi hatinya. Ia mesti benar-benar menghindari dari orang-orang terpelajar yang sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah berfirman kepada Daud as., “Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang-orang terpelajar yang teracuni oleh cinta dunia, karena ia akan merampok kecintaan-Ku darimu”. Dan Nabi saw. bersabda, “Allah mencintai orang yang cermat dala meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya”. Nalar dan pembedaan berkaitan erat, dan orang yang di dalam dirinya nalar tidak mengendalikan nafsu tidak akan cermat melakukan penyelidikan.

Pemeriksaan Diri dan Dzikir kepada Allah SWT (1)

Posted in Bab 6 with tags , , , , , on Mei 27, 2012 by isepmalik

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa di dalam Al-Quran Tuhan telah berfirman, “Akan Kami pasang satu timbangan yang adil di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan melihatnya.” Di dalam Al-Quran juga tertulis, “Setiap jiwa akan melihat apa yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitungan.” Khalifah Umar pernah berkata, “Tuntutlah pertanggung jawaban dari dirimu sebelum dituntut pertanggungjawabanmu.” Dan Tuhan berfirman, “Wahai kaum mukminin, bersabar dan berjuanglaj melawan nafsu-nafsumu dan kemudian beristiqamahlah.” Semua wali paham bahwa mereka datang ke dunia ini untuk menyelenggarakan suatu lalu-lintas ruhaniah. Perolehan ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka. Oleh karena itu, mereka selalu menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Oleh karena itu, hanya orang-orang bijaksana sajalah yang setelah shalat subuhnya menghabiskan satu jam penuh untuk mengadakan perhitungan ruhaniah dan berkata kepada jiwanya, “Wahai jiwaku, engkau hanya mempunyai satu hidup. Tida satu pun saat yang telah lewat bisa dikembalikan, karena dalam perbendaharaan Allah jumlah nafas bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan telah berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah yang mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa seakan-akan hidupmu telah kau habiskan sama sekali dan bahwa hari ini adalah hari tambahan yang dianugerahkan kepadamu oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekeliruan apa lagi yang lebih besar daripada menyia-nyiakannya?”

Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh jam-jam hidupnya terjajar seperti satu deret lemari perbendaharaan. Pintu salah satu lemari itu akan terbuka dan akan tampak penuh dengan cahaya. Hal itu mencerminkan saat yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan. Hatinya akan dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja sudah akan membuat penghuni neraka melupakan api itu. Pintu lemari yang kedua akan terbuka; di dalamnya gelap pekat dan dari dalamnya terpancar bau tidak enak, yang menyebabkan setiap orang menutup hidungnya. Itu mencerminkan saat-saat yang dihabiskan untuk berbuat maksiat. Ia akan merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja sudah akan segera membuat penghuni seurga gelisah dan memohon rahmat. Pintu lemari yang ketiga pun terbuka; di dalamnya tampak kosong, tak ada cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipakai untuk melakukan kebaikan maupun maksiat. Waktu itu ia akan merasa sangat menyesal dan bingung laksana seorang yang memiliki harta banyak, tapi menyia-nyiakannnya atau membiarkannya lepas begitu saja dari genggamannya. Jadi, seluruh rangkaian saat-saat hidupnya akan dipertunjukkan satu demi satu di depan matanya. Lantaran itu, seseorang mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi: “Allah telah memberimu khazanah dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di antaranya, karena engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang akan mengikuti kerugian seperti itu.”

Para wali telah berkata, “Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda yang menyia-nyiakan kehidupan, anda tidak akan bisa mencapai tingkatan orang-orang saleh dan mesi akan menyesali kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah dengan ketat lidah anda, mata anda dan segenap anggota tubuh anda, karena masing-masing daripadanya mungkin menjadi pintu gerbang menuju neraka. Ucapkanlah pada badan anda, ‘Jika engkau memberontak, sesungguhnya aku akan menghukummu’ karena meskipun badan itu keras kepala, ia mampu menerima perintah dan bisa dijinakkan dengan keprihatinan.” Itulah tujuah pemeriksaan diri, dan Nabi saw telah berkata, “Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan amal-amal yang  akan memberikan keuntungan baginya setelah mati.”

Sekarang sampailah kita pada dzikrullah yang berarti ingatnya seseorang bahwa Allah mengamti seluruh tindakan dan pikirannya. Orang-orang hanya melihat penampilanluar, sementara Allah melihat keduanya; yang di luar maupun yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya. Jika ia menyangkal hal ini, maka ia adalah seorang kafir; dan jika sementara mempercayainya dia bertindak bertentangan dengan kepercayaannya itu, maka dia telah melakukan kesalahan berupa bersikap angkuh yang paling parah.

Suatu hari seorang Habsy datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah tobat saya bisa diterima?” Nabi menjawab, “Ya.” Kemudian sang Habsy berkata, “Wahai Rasulullah, setiap saya melakukan dosa, apakah Tuhan benar-benar melihatnya?” “Ya,” jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan kemudian jatuh tak sadar. Sebelum seseorang benar-benar yakin akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam pengamatan Allah, tidak mungkin ia bertindak di jalan yang benar.

Seorang Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari yang lain, sehingga membangkitkan rasa iri mereka. Suatu hari sang Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang bisa melihat. Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh unggas di tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup seraya berkaya, “Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu melihatku di mana-mana.” Sang Syaikh pun berkata kepada muridnya yang lain, “Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingati Allah.”

Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke atas wajah berhala yang biasa disembahnya. Yusuf berkata kepadanya, “Wahai Zulaikha, engkau malu di hadapan seonggokan batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan Dia yang menciptakan tujuh langit dan bumi.” Satu kali seseorang datang kepada Wali Junaid dan berkata, “Saya tidak bisa menahan pandangan mata saya dari melihat hal-hal yang menggairahkan. Apa yang mesti saya perbuat?” jawab Junaid, “Dengan mengingat bahwa Allah melihatmu jauh lebih jelas daripada kamu melihat orang lain.” Di dalam hadits qudsi tertulis bahwa Allah berfirman, “Surga itu bagi orang-orang yang sempat berkeinginan untuk mengerjakan dosa tapi kemudian ingat baha mata-Ku ada di atas mereka dan kemudian mereka menahan diri.”