Arsip untuk luar biasa

Allah SWT dan Makhluk

Posted in 15-24. Allah SWT dan Makhluk with tags , , , , , on Juli 19, 2012 by isepmalik

Diantara bukti yang menunjukkan adanya keperkasaan Allah swt yang luar biasa adalah yang dapat menghijab engkau dari melihat kepada-Nya dengan hijab yang tidak ada wujudnya di sisi Allah swt.

Bagaimana menyangka Allah swt dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang menzahirkan segala sesuatu.

Bagaimana mungkin akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang tampak pada segala sesuatu.

Bagaimana mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat dalam tiap sesuatu.

Bagaimana sesuatu dapat ditutup oleh sesuatu, padahal Dia yang tampak pada tiap segala sesuatu. Bagaimana mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang ada sebelum ada sesuatu.

Bagaimana mungkin akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang lebih nyata dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang Esa. Tidak ada sesuatu apapun di samping-Nya.

Bagaimana akan dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin akan dihijab oleh sesuatu, seandainya tidak ada Allah swt niscaya tidak ada segala sesuatu.

Alangkah ajaibnya bagaimana wujud di dalam ‘adam (yang tidak wujud), atau bagaimana sesuatu yang rusak dapat bertahan di samping zat yang bersifat kekal.

Alam ini semuanya gelap gulita sedangkan yang meneranginya adalah karena wujud Allah swt. Pada hakikatnya alam ini tidak wujud, hanya Allah swt yang wujud. Tetapi apa yang terlihat kepada kita adalah alam semata-mata sedangkan Allah swt yang lebih nyata menjadi tersembunyi dari pandangan kita. Allah swt yang menzahirkan segala sesuatu, bagaimana sesuatu itu dapat menghijabkan-Nya. Allah swt yang tampak nyata pada segala sesuatu, bagaimana Dia dapat tersembunyi. Allah swt adalah Maha Esa, tiada sesuatu bersama-Nya, bagaimana Dia dapat dihijab oleh sesuatu yang tidak wujud di samping-Nya.

Hati akan diisi dengan iman (percaya) atau ragu-ragu. Jika Nur Ilahi menyinari hati, maka mata hati akan melihat dengan iman. Seandainya pandangan mata hati tidak bercahayakan Nur Ilahi, maka apa yang dipandangnya akan membawa keraguan dalam bentuk pertanyaan ‘bagaimana’. Pertanyaan ‘bagaimana’ itu merupakan ujian tentang keimanan. Ia dapat memberi rangsangan untuk menambahkan pengetahuan tentang Tuhan. Jika tidak dikawal ia akan mendorong kepada pembahasan yang tidak ada penyelesaian karena bidang ilmu sangat luas, tidak mungkin habis untuk dikupas. Jika kita ikuti pembahasan ilmu, kita akan mati terlebih dahulu sebelum sempat mendapat jawaban yang memuaskan. Oleh karena itu kita harus memberikan garis pembatas kepada ilmu dan memasuki ke dalam iman. Iman menghilangkan keraguan dan tidak perlu bersandar kepada bukti dan dalil-dalil.

Pengalaman hakikat akan menghapuskan pertanyaan ‘bagaimana’. Apabila keraguan datang, ia akan disambut dengan jawaban, “Dengan Dia aku mengenal sifat-Nya, bukan dengan sifat-Nya aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal ilmu pengetahuan, bukan dengan pengetahuan aku mengenal Dia. Dengan Dia aku mengenal ma’rifat, bukan dengan ma’rifat aku mengenal Dia”.

Apabila hati sudah diisi dengan iman, pertanyaan ‘bagaimana’ akan menguatkan keinginan untuk memahami Rahasia Ilahi yang menyelubungi alam maya ini. Jika dia tidak mampu memahami sesuatu tentang Rahasia Ilahi itu, maka dia akan tunduk dan mengakui dengan kerendahan hatinya bahwa benteng keteguhan Allah swt tidak mampu dipecahkan oleh makhluk-Nya.

Problema Filsafat adalah Problema Kehidupan

Posted in Tugas Filsafat with tags , , , , , on Mei 9, 2012 by isepmalik

Problema yang dihadapi oleh penggemar filsafat—pada umumnya—adalah problema yang pernah terjadi pada setiap orang yang pada suatu waktu. Anak berumur empat tahun menanyakan soal yang luar biasa yang jauh di luar scope-nya dan persepsinya. Ia menanyakan, “Bagaimana dunia ini bermula?”, atau, “Benda-benda itu terbuat dari apa?”, atau, “Apakah yang terjadi pada seseorang jika ia mati?”; dengan pertanyaan-pertanyaannya itu, ia telah membuat isu yang sangat penting. Fakta bahwa anak-anak kecil dapat mengajukan soal-soal seperti tersebut di atas menunjukkan rasa kehausan bagi tiap orang untuk mendapat penjelasan.

Problema filsafat tidak tetap; kita temukan problema-problema itu pada sesuatu waktu dan kita tidak akan meninggalkannya sampai mendapatkan pemecahan. Menghadapi problema seperti itu merupakan bagian yang sangat penting dari usaha untuk mengatasi problema kehidupan kita, dan oleh karena itu kita harus menjawabnya untuk diri kita sendiri. Jika begitu, mengapa kita memerlukan ahli filsafat? Tak ada seorang ahli filsafat pun yang mengaku bahwa ia dapat memberikan pemecahan persoalan-persoalan itu dengan satu cara yang sama dengan cara seorang dokter memberi resep obat kepada para pasiennya.[1] Walaupun begitu, ahli filsafat akan sangat berjasa dalam membantu menemukan pemecahan persoalan-persoalan. Sesungguhnya ahli-ahli filsafat itu seperti seorang dokter, ia mendiagnosa penyakit atau menunjukkan problema. Sebagai contoh: satu dari problema-problema besar dalam pendidikan pada masa sekarang ini adalah kurangnya kesatuan (unifikasi) dalam pengalaman pendidikan. Yang diterima oleh seorang mahasiswa adalah serangkaian penyajian dalam bidang spesialisasi yang tak ada hubungannya antara yang satu dengan lainnya. Suatu program pelajaran berisikan 50 menit Kebudayaan Barat, kemudian 50 menit matematik dan pelajaran yang terakhir pada hari itu adalah Kesusastraan Inggris. Penyajian secara sepotong-sepotong ini menggambarkan fragmentasi umum dari pengalaman yang menandai kehidupan modern; tugas dari ahli filsafat adalah untuk mengatasi spesialisasi dan memformulasikan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusiaan yang luas. Oleh karena itu filsafat merupakan satu bagian dari proses pendidikan alamiah dan makhluk yang berfikir.

Pemikiran filsafat mempunyai ciri khas, yaitu menimbulkan gejolak. Socrates, seorang ahli filsafat dari Yunani, dihukum mati karena ia menyerang kepercayaan suci dari agama dan negara. Pada fasal-fasal selanjutnya akan kami uraikan bahwa filsafat itu bertugas untuk menghadapi problema-problema pokok dari kehidupan dan mempersoalkan jawaban-jawaban yang diberikan oleh faham orang awam (common sense), prasangka dan masyarakat, dan oleh karena itu akan menimbulkan keresahan.

(Sumber: Harold H. Titus. (1984). Persoalan-persoalan Filsafat).


[1] W. G. Hobbs, “Who Needs Philosophers?” The Chronicle of Higher Education (January 20, 1975), h. 24.

Ambilkan Mawar, Bu

Posted in Cerpen with tags , , , , , on April 23, 2012 by isepmalik

SEPULANG kerja, Parni mengayuh sepedanya pelan-pelan. Dinikmatinya suasana sore hari dengan santai. Di boncengannya duduk seorang anak kecil berumur tiga tahun, Cantik namanya. Sesekali dipe-gangi dengan tangan kirinya, khawatir kalau-kalau posisi duduk Cantik kurang pas. Karena pernah sebulan lalu anaknya itu hampir saja terjatuh dari boncengan. Waktu itu Parni begitu tergesa mengayuh sepedanya. Cantik sebagai anak yang tak bisa diam tiba-tiba pantatnya sudah miring ke sebelah kanan. Untung saja Parni langsung sigap, sehingga terhindar dari hal yang sangat merugikan. Parni tak ingin hal itu terulang kembali.

Sebagai ibu, Parni memang teramat menyayangi anak semata wayangnya melebihi menyayangi dirinya sendiri. Ke mana pun pergi dibawanya, termasuk dibawa kerja. Apapun permintaan anaknya, Parni berusaha sebisa mungkin mengabulkan, meski penghasilannya sebagai tukang masak tidaklah banyak. Suaminya, Hasan telah meninggal dunia setahun lalu, karena menderita stroke cukup parah. Sebenarnya Hasan seorang suami yang baik. Bahkan sangat baik. Tutur katanya, kesabarannya, luar biasa. Bertolak belakang dengan sifat Parni yang grusa-grusu dan temperamental. Masalah sekecil apapun bisa menjadi fatal.

Parni hanya bisa menyesal bila mengingatnya, karena semasa hidup suaminya, ia tak begitu mempedulikannya. Tidak itu saja. Ia kerap marah-marah bila ada sedikit saja masalah yang menurut Parni menyinggung perasaan. Tidak jarang sebab emosinya memuncak, barang-barang berharga yang berada di dekatnya hancur berkeping. Kalau sudah begitu, Hasan tak akan melawan, meski sebenarnya sangat mampu untuk melakukan itu. Sebaliknya untuk meredam keadaan agar tidak semakin parah, Hasan akan menghiba, memohon ampun, sampai-sampai mencium telapak kaki istrinya. Dan yang paling tak bisa dilupakan Parni waktu itu, kata trenyuh sama sekali tidak menyentuh hatinya dengan sikap Hasan yang telah mengalah total seperti itu. Bukannya ia meraih suaminya untuk bangkit, malahan mendorong tubuh suaminya hingga kepalanya terbentur lantai. Darah mengucur dari hidungnya. Sudah begitu, Parni masih sempat berkata, ”Makanya jangan bikin masalah!”. Lalu berlalu meninggalkan suaminya yang mengerang kesakitan.

”Bu, kok keterusan jalannya. Katanya Cantik mau dibelikan boneka Barbie yang baguus sekali.” Mereka telah melewati toko mainan. Parni terhenyak dari lamunan.

”O ya, sayang… Ibu kebablasan.” Parni menghentikan sepedanya. Mereka masuk toko mainan, dan memilih boneka Barbie yang paling bagus. Wajah Cantik tampak berseri begitu mendapat mainan yang diinginkan. Hati Parni puas melihatnya. Biarlah Cantik bahagia. Biarlah ia kumanjakan. Karena dialah satu-satunya yang berharga milikku. Aku tak memiliki siapa-siapa lagi.

***

 

Matahari menebar pagi. Seperti biasa Parni dan anaknya bersiap menuju tempat kerja, dan selalu akan melewati rumpun bunga di samping rumah. Rumpun bunga itu selalu mengenangkan Parni terhadap perjalanan kehidupan masa lalunya. Penuh duri-duri. Menusuk bila dikenang. Sebelah bagian kehidupan mana yang tertusuk? Hanya Parni yang tahu. Apakah itu merupakan sebentuk penyesalan? Atau pertobatannya terhadap kesalahan hidupnya? Rumpun mawar itu baginya menyisakan duri dalam daging.

Namun entah mengapa, justru hati Cantik seakan ikut berbunga bila memandang rumpun mawar itu. Ia ingin meraihnya. Ingin mencium mawar itu. Tapi justru sebab itu, permintaan yang satu ini menjadikan Parni marah. Dan selalu menampakkan wajah yang sangar.

”Mintalah apa saja, Nak, tapi jangan mawar itu!” wajah Parni mencekam. Selalu itu yang dilakukannya bila Cantik merajuk minta mawar, tanpa memberi alasan sedikit pun. Dan anaknya hanya bisa gigit jari.

Sejak itu Cantik terbayang-bayang mawar. Mawar kehidupan ibunya. Ia sering mencuri-curi kesempatan untuk sekadar memandangnya. Pernah satu ketika, ia kepergok ibunya. Bukan main murka ibunya.

”Kau tak boleh mamandang mawar itu! Apalagi mengambilnya! Ketahuilah, Nak. Kenapa Ibu sangat melarangmu? Ibu pernah tertusuk durinya di jalan kehidupan Ibu. Lukanya sampai di ulu hati. Ini masih sakit… sakit sekali, Nak!” Akhirnya Parni tak kuasa membuka cerita. Matanya merah bagai menyemburkan api. Cantik ngeri! Tapi tidak tahu apa maksudnya.

”Nah. Hanya kau milik Ibu satu-satunya. Kau harus nurut!” Parni menatap wajah Cantik. Lebih nyalang. Suaranya menggeram persis Mak Lampir. Gigi-gigi Parni pun mulai terlihat mengeluarkan taringnya di mata anak itu. Ketakutan. Pucat-pasi. Lalu, pingsan.

Sejak peristiwa itu Cantik sakit. Ibunya membawanya ke dokter. Secara medis, dokter tidak menemukan penyakit apa pun, selain suhu badan yang meninggi. Oleh dokter diberi obat penurun panas. Setelah minum obat, panasnya memang turun. Parni lega. Dan mengira sakitnya sudah sembuh.

”Kamu kepengin makan apa, sayang?” Parni mengelus rambut Cantik yang kusut. Anak itu menggeleng, memandang Parni dengan tatapan meredup. Tersenyum. Parni mengambilkan boneka yang berjajar di meja kamar, agar anaknya bisa terhibur.

Namun sore harinya, badan Cantik kembali panas. Bahkan lebih panas dari sebelumnya. Parni menambah es pada kompresannya. Di antara gigil badannya, terdengar igauan anaknya yang sungguh menyayat.

”Ambilkan mawar, Bu… ambilkan mawar itu…”

Parni menangis. Kebimbangan mulai menyerang hatinya. Antara sayang sayang dan dendam. Berkecamuk. Belum sempat mengambil keputusan, tangan mungil anaknya melambai, lemah. Parni mendekatkan wajahnya, mencium Cantik. Tapi kini pipi anaknya mendadak sedingin es! Berbarengan itu mata Cantik terpejam. Dan tak ada lagi detak jantung di dadanya. Sontak Parni menjerit! Diguncang-guncangnya tubuh anaknya. Parni tak percaya bahwa anak satu-satunya telah mati!

”Cantiiik…..” Histeris. Parni tak sadarkan diri.

Entah berapa lama, hanya waktu yang mencatatnya. Parni tersadar setelah merasakan hangat di kedua telapak tangan, kedua telapak kakinya, dan tercium bau minyak kayu putih. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah berada di tempat tidur. Tanpa diduga, sebuah tangan yang telah keriput membelai-belai kening Parni. Dengan kepala masih pening, Parni menoleh. Kaget.

”Ibuuu….” ia menjerit. Dipeluknya orangtua itu erat-erat. Orang tua yang tinggal satu-satunya, yang bertahun telah dia tinggalkan di desa lantaran kesalahpahaman Parni.

”Kamu tak sendiri Nak. Ibu sangat menyayangimu….” hibur Ibunya, tanpa sedikit pun ada getaran dendam. Dengan lembut Parni dituntun mengucap ”laahaula walaa quwwata illa billaah.”

Kalimah kukuh indah ini memang sudah lama Parni abaikan.

 

 

Cerpen: Lala St Wasilah

Sumber: Kedaulatan Rakyat, Edisi 03/19/2006

Reaksi Dapat Balik

Posted in Kesetimbangan Kimia with tags , , , , , on April 22, 2012 by isepmalik

A.     Reaksi Dapat Balik

Sebenarnya semua reaksi dapat balik. Misalnya, bila bensin dibakar akan menghasilkan gas CO2 dan H2O disertai dengan energi yang besar. Dalam kondisi yang luar biasa, bila orang mau mengeluarkan energi yang sangat besar dan melalui prosedur yang sempurna maka sangatlah mungkin membuat bensin dari gas-gas yang dihasilkan itu. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya demikian tidak ekonomis, tidak praktis dan tidak mempunyai nilai tambah. Dalam laboratorium beberapa hasil reaksi dapat langsung direaksikan menjadi reaktan kembali. Semua reaksi yang hasilnya dapat dikembalikan ke pereaksi semula disebut reaksi dapat balik.

Contoh

Bila gas hidrogen direaksikan dengan bijih besi Fe3O4 yang dipanaskan, akan terjai besi dan uap air.

Fe3O4(s) + 4H2(g) → 3Fe(s) + 4H2O(g)

Gambar 3.1 Bijih Besi (Fe3O4) Menjadi Besi (Fe)

          Reaksi sebaliknya dapat dihasilkan dengan melalukan uap air melalui besi pijar.

3Fe(s) + 4H2O(g) → Fe3O4(s) + 4H2(g)

Gambar 3.2 Besi (Fe) Menjadi Bijih Besi (Fe3O4)

(Sumber: Benny Karyadi, Kimia SMA 2).