Kebetulan dan Keburukan dalam Perspektif Ibn Sina (3)


Setiap materi yang tercipta tidak langsung argumentasinya dikembalikan kepada Tuhan, tetapi secara argumentatif melalui rantai tidak terputus dari penyebab efisien, dan kemunculan materi tersebut bukan merupakan prinsip ketidakpastian. Materi bukan merupakan penyebab efisien maupun akhir, atau bukan pula penyebab final di alam ini. Materi sendiri bersifat lembam; ia adalah elemen pasif yang terbuat dari materi dan bentuk. Ibn Sina dalam konteks ini menjelaskan bahwa materi memperoleh dimensi dan bentuk tertentu sehingga menjadi aktual hanya dengan cara berbentuk.[1] Namun, ia tidak hanya membuktikan bahwa alam bertindak menuju akhir, tetapi harus ditegaskan bahwa ia menjadi akhir yang baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keburukan.

Hal ini menjadi jelas bahwa pergerakan alami dari unsur-unsur material dengan cara tujuan alam (qasd) ke tempat yang pasti (hadd mahdud), dan hal ini merupakan peristiwa yang selalu atau sering terjadi; inilah yang dimaksud dengan istilah “akhir” (ghaya). Maka jelas bahwa tujuan berasal dari alam ketika alam tidak menentang [itu] dan tidak terjadi gangguan, terjadi dengan baik dan sempurna. Jika ia (tujuan alam) menyebabkan akhir yang buruk pada peristiwa yang selalu atau sering terjadi, bukan dengan cara demikian jiwa kita mencari penyebab keburukan, dan dikatakan, “Apa yang membuat tunas kelapa layu?” dan “Apa yang membuat wanita keguguran?” Jika hal ini terjadi, pergerakan alam tetap untuk kepentingan yang baik dan ini tidak hanya [teramati] dalam pertumbuhan hewan dan tumbuhan, tetapi juga dalam gerakan tubuh sederhana dan dalam tindakan yang berasal dari mereka oleh alam (bi al-tab’). Mereka selalu bergerak menuju akhir (asalkan tidak ada gangguan) menurut urutan tertentu (nizam mahdud) tanpa deviasi, kecuali ada penyebab yang mengganggu.[2]

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana akibat harus/ selalu mengikuti penyebab efisien ketika tidak ada gangguan terhadap urutan kausal. Sekarang akan ditunjukkan bahwa di alam berlaku hal yang sama untuk penyebab final. Proses alam selalu mengikuti tujuan kecuali ada gangguan. Gangguan yang menghalangi pencapaian yang baik atau kesempurnaan adalah materi. Maka materi bertanggung jawab terhadap keburukan yang terjadi; bukan dalam arti bahwa ia secara aktif menghasilkan keburukan, tetapi keburukan muncul karena penurunan derajat dari materi.[3]

Adapun mengenai deformasi materi dan sejenisnya terjadi karena hal yang tidak baik, seperti: rusak, cacat, kekurangan, dan akibat-akibat berlebihan dalam kaitannya dengan kealamiahan. Rusak atau cacat adalah proses berkurangnya tindakan karena ketidaktaatan materi. Kami tidak mengatakan bahwa alam memungkinkan untuk menggerakkan materi sampai akhir dan tidak pula mengatakan bahwa tidak adanya tindakan alam adalah untuk mengakhirinya, tapi kita mengatakan dengan pasti bahwa ia bersifat sesuai dengan aturan (mawadd muti’a); ketika alam mencapai akhir, maka hal itu tepat untuk alam.[4]

Bagaimana penjelasan untuk keburukan alam? Ibn Sina berpendapat bahwa alam tidak bertindak sia-sia, tetapi kadang-kadang alam tidak menggerakkan materi menuju akhir. Implikasinya adalah alam selalu bertindak untuk mencapai tujuan, tetapi mungkin bisa gagal untuk mencapai akhir karena materi tidak memiliki ukuran terhadap tugasnya. Selanjutnya, kegagalan itu terletak pada apa yang oleh Ibn Sina sebut sebagai “ketidaktaatan materi”(isyan al-madda). Ketika materi berlaku taat, maka tindakan alam akan mengakhirinya. Penggunaan ungkapan “ketidaktaatan” menunjukkan bahwa materi semata-mata tidak bersifat pasif. Namun, seperti telah dijelaskan, penekanannya ditempatkan pada kekurangan materi daripada disebabkan oleh kapasitas efisien dari alam. Dalam bagian ini, materi merupakan alasan untuk setiap proses alami yang tidak mencapai akhir. Cacat muncul karena ada sifat berlebih pada materi—seperti yang digambarkan oleh contoh jari keenam. Keburukan adalah hasil dari ketidakaktifan materi; terdapat sifat yang tidak aktif pada materi. Jadi, ketidaktaatan adalah sebuah metafora untuk menggambarkan kekurangan materi. Bagian ini menjelaskan kejadian langka yang tidak diharapkan, bahwa kejadian alam yang langka dikarenakan kekurangan materi. Namun keburukan alam tertentu ada yang sudah menjadi aturan yang dikecualikan seperti kematian. Bagaimana penjelasan Ibn Sina untuk jenis keburukan yang tidak jarang terjadi tetapi diperlukan? Bagaimana ia menjelaskan pemecahan kontradiksi antara eksistensi keburukan dan alam yang sebagian besarnya adalah baik?

Kematian dan pembusukan terjadi [karena] ketidakmampuan (qusur) alam material (al-tabi’a al-badaniya) untuk memaksa bentuk materi dan melestarikan bentuk dalam masalah yang dihadapi; materi tidak bisa memunculkan pengganti (badal) yang hancur. Proses pembusukan juga tidak kondusif sampai akhir. Proses pembusukan memiliki penyebab lain, tetapi yang bertanggung jawab adalah alam; penyebabnya adalah panas yang disebabkan oleh alam. Masing-masing dari penyebab memiliki akhir. Akhir dari panas adalah hilangnya kelembaban dan terjadinya transformasi. Untuk materi, hal itu sesuai dengan urutan sampai mencapai akhir. Untuk sifat tubuh, akhirnya adalah untuk melestarikan tubuh semaksimal mungkin. Karena memiliki urutan dan mengarah ke akhir, maka pembusukan merupakan tindakan alam meskipun alam tidak melakukan tindakan. Kami tidak menjamin bahwa setiap kasus/ situasi (hal) dalam peristiwa alam tentu harus menjadi akhir bagi alam itu sendiri, sebaliknya kita mengatakan bahwa setiap tindakan alam bermaksud untuk mengakhiri kepemilikannya. Adapun tindakan lainnya, penyebab mungkin tidak untuk mengakhiri dirinya, dan jika kematian, pembusukan, dan sejenisnya tidak berguna untuk akhir dari tubuh Zaid, maka penyebab adalah ujung yang diperlukan dalam urutan keseluruhannya.[5]

Di sini Ibn Sina memperluas keberlangsungan tujuan proses alami dengan memasukkan kematian dan kerusakan, sehingga ia mengambil pandangan yang berbeda dengan Empedokles. Beberapa tujuan dan pertentangan sedang berlangsung di alam. Titik utama dari bagian ini adalah perbedaan kontras antara kebaikan universal dan kebaikan individu. Apa yang buruk bagi individu tertentu adalah akhir yang diperlukan dan bernilai baik dalam konteks keseluruhan. Sebuah peristiwa tertentu mungkin tidak menguntungkan individu, tetapi sesuai dengan tatanan universal; Ibn Sina juga menyebutnya dengan tatanan yang baik karena berlangsung dalam realisasi desain kasih sayang Tuhan bagi dunia.[6] Ibn Sina selanjutnya mengatakan bahwa kematian dan sifat berlebihan materi adalah untuk mengakhiri, dan alam selalu berusaha untuk mencapai hal tersebut. Adapun mengenai kebutuhan materi yang ditemukan dalam siklus hujan, ia menekankan bahwa Tuhan bertindak terhadap materi dan memaksakan berakhir di atasnya (hujan). Dalam pengertian ini, kebutuhan materi tidak menjelaskan setiap proses alami—seperti yang diklaim oleh Prasokrates—melainkan berupa tindakan Tuhan yang secara tidak langsung mengubah bentuk materi dalam cara tertentu menuju suatu tujuan. Hal ini menjadi jelas jika kita menunjukkan analogi antara materi dan keburukan. Materi, seperti keburukan, tidak bersifat positif atau tidak benar-benar eksis, hanya eksis ketika berkombinasi dengan bentuk. Materi murni, atau materi utama, sebenarnya tidak eksis dengan sendirinya, semua materi hanya dapat ditemukan pada substansi individu ketika berhubungan dengan bentuk. Keburukan juga tidak dapat ditemukan dalam isolasi, tetapi hanya sebagai efek samping dari tindakan. Keburukan, meskipun tidak diinginkan, merupakan efek penting dari penciptaan. Hal ini ditegaskan dalam bagian dari al-Najat:

Tuhan menghendaki (yuridu) sesuatu (al-asy-ya) dan juga menghendaki keburukan (al-syarr), keburukan yang beragam disebabkan aksiden (‘ala al-wajh al-ladzi bi al-‘arad). Kebaikan (al-khayr) ditetapkan (muqtadan) oleh dirinya (bi al-dzat) dan keburukan ditetapkan oleh aksiden (bi al-‘arad), dan semuanya sesuai dengan ketentuan Tuhan (bi qadar).[7]

Jelas, yang baik dan yang buruk diciptakan menurut kehendak Tuhan; yang pertama muncul oleh keperluannya sendiri dan yang terakhir bersifat aksidensial. Akhir aksidensial mengikuti keperluan dari akhir esensial. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa segala sesuatu, baik atau buruk, diperlukan karena ditentukan oleh Tuhan, lebih jelasnya nanti dalam pembahasan mengenai ketentuan Tuhan (qadar). Keburukan selalu mengikuti keperluan dari penciptaan, seolah-olah sebagai efek samping. Hal ini diilustrasikan dalam contoh di bagian Physics:

Seseorang tidak harus kagum [terhadap fakta] bahwa panas bertindak untuk membakar sesuatu, pembakaran dan penghancuran bukan dari tindakan panas, dan api tidak dapat mengubah menjadi sesuai dengan sifat dirinya sendiri. Kebetulan dan akhir aksidental muncul dalam fakta bahwa pakaian orang miskin terbakar, misalnya. Ini tidak sesuai dengan akhir esensial, karena panas tidak bertujuan untuk membakar pakaian orang miskin. Juga, tidak ada kekuatan yang terdapat dalam api untuk membakar materi [tertentu], bukan pula untuk mengubah benda yang menyentuh substansinya. Pakaian bersentuhan dengan api; untuk peristiwa ini terdapat tujuan berupa tindakan api di alam, jika api menyentuh objek [tertentu] maka ia terbakar. Selain itu, eksistensi akhir aksidental tidak mencegah eksistensi akhir esensial, bukan akhir dengan sendirinya mendahului akhir aksidental.[8]


[1] Ibid, hal: 70-71. (Al-Yasin, hal: 123).

[2] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 71, bacalah:  fa-bayyin oleh Zayid dan Madkur dan fasil oleh Al-Yasin. (Al-Yasin, hal: 123).

[3] Konsepsi Ibn Sina tentang keburukan, lihat: Michot, La destinee, hal: 59-68. Michot memahami bahwa keburukan menurut Ibn Sina hanya ditemukan di dunia. Selain di dunia ini, praktis tidak ada keburukan, hal: 61. Menurut Steel dalam “Avicenna and Thomas Aquinas on Evil”: “Setelah menetapkan bahwa keburukan mendatangkan akibat negatif, Ibn Sina menjelaskan bagaimana bentuk keburukan yang terhubungan dengan materi dan itu hanya terjadi di bumi. Keburukan yang berakibat negatif hanya terjadi pada makhluk yang rentan terhadap kekurangan, yaitu makhkuk yang tidak dapat mengaktualkan potensinya karena didominasi materi”, hal: 178. Hubungan antara potensialitas/posibilitas dan materi, lihat: McGinnis, “The Relation between Essence, Possibility and Matter in the Philosophy of Ibn Sina. Pandangan Ibn Sina tentang keburukan berakar Neoplatonik/ Plotinian tentang teori keburukan sebagai kekurangan dan hubungannya dengan materi. Dalam skema emanasi Neoplatonisme, materi muncul paling akhir (Michot, La destinee, hal: 59).  Tema utama Neoplatonik mengenai emanasi dan degradasi progresif sebagai salah satu yang bergerak menjauh dari Tuhan, hubungan keburukan degan materi, perlunya keburukan; urutan keseluruhan tema ditetapkan Ibn Sina dalam komentarnya terhadap “Theology of Aristotle”. Pandangan Plotinus mengenai hubungan antara materi dan keburukan, lihat: “Plotini Opera, vol. 1, Ennead I.8.3-I.8.4 dan I.8.6-I.8.7. Pengaruh pandangan Plotinian terhadap Ibn Sina mengenai materi, lihat: Cruz Hernandez, “La Metafisica de Avicenna”, hal: 95-96.

[4] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 72-73. (Al-Yasin: 125).

[5] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 73. Baca: sabab, al-badan, dan wa’in oleh Al-Yasin, dan fi’la-ha li-ghaya la-ha oleh Zayid dan Madkur. (Al-Yasin, hal: 125).

[6] Ibid, hal: 73. (Al-Yasin: 125). Untuk pembahasan mengenai tatanan universal, lihat: al-Ta’liqat, hal: 46-47. Dalam bagian ini, Ibn Sina menjelaskan bagaimana dosa dan hukuman orang berdosa merupakan bagian konstitutif dan diperlukan dalam tatanan universal. (Michot, de Destinee, hal: 61-63).

[7] Ibn Sina, al-Najat, hal: 325. Untuk teori bahwa keburukan termasuk dalam ciptaan Tuhan, lihat: Michot, Lettre au Vizir Abu Sa’d, hal: 120-121. Pandangan yang sama mengenai keburukan merupakan desain Tuhan bagi dunia dan diubah menjadi baik oleh Tuhan, dapat ditemukan dalam al-Ta’liqat, hal: 47.

[8] Ibn Sina, al-Sama’ al-Tabi’i, hal: 74. Baca: yuta’ajjaba dan yuhraqa oleh Zayid dan Madkur. (Al-Yasin: 126).

Tinggalkan komentar