Ahwal Menentukan Amal (2)


3.  Muttakhaliq:

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah swt menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang atau campur tangan, bahkan tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada perilaku dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan suatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia sendiri tidak berdaya untuk mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraid adalah dia melihat bahwa Allah swt melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah swt, dan diamnya juga adalah gerakan Allah swt. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar atau tadbir. Apa yang terjadi atas dirinya, seperti dan perbuatan dan perkataan berlaku secara spontan. Perilaku atau amal Qurbi Faraidh ialah pergantian di antara logis dengan tidak logis, mengikuti adat atau merombak adat, berperilaku alim atau bodoh. Dalam banyak perkara, penjelasan yang diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah swt berbuat yang Dia kehendaki.”

Dalam suasana Qurbi Nawafil, muttakhaliq melihat dengan mata hatinya terhadap sifat-sifat Allah swt yang menguasai bakt dan upaya pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan ijin Allah swt karena Allah swt mengaruniakan kepadanya untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurba Nawafil adalah perilaku Nabi Isa as yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan ijin Allah swt, juga perilaku beliau menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa as melihat sifat-sifat Allah swt yang diijinkan menjadi bakat dan upaya beliau, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadi burung dan menghidupkan orang mati dengan ijin Allah swt.

4.  Muwahhid:

Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah swt. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariyah dan sekalian maujud. Perilaku atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab, Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke’Abdullah-an dan benar-benar dikuasai oleh ke-Allah-an. Ketika dia dikuasai oleh hal, dia terlepas dari beban hukum syara’. Dia mungkin mengatakan, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku!” Dia telah fana dari “aku” dirinya dan dikuasai oleh kewujudan “Aku Hakiki”. Walau bagaimana pun sikap dan perilakunya, dia tetap dalam keridhaan Allah swt. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya. Ahli hal tenggelam dalam perilaku Allah swt. Bila dia mengatakan, “Akulah Allah!”, bukan bermakna dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah swt. Allah swt yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.

Berbeda dengan golongan mulhid. Si mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada zhauq, tetapi berperilaku dan berucap seperti orang di dalam zhauq. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat, bukan mengalami secara hakikat zhauq. Si mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata-mata. Dia berpuas hati berbicara tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini berbicara sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih diliputi dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi sepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!

5.  Mutahaqqiq:

Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat, turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib ditunaikan. Dalam kesadaran zat, seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah swt dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu, orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat, barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah swt menjadi khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah swt dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah swt. Orang inilah yang menjadi ahli ma’rifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli tariqat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani peringkat teringgi ialah para nabi-nabi dan Allah swt mengaruniakan ma’shum kepada mereka, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.

Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda-beda, dengan itu akan mencetuskan perilaku amal yang berbeda-beda. Ahwal harus difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tariqat keruhanian, supaya dia mengetahui dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan sembahyang, zikir, atau puasa. Dia harus sungguh-sungguh berpegang kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dan selamat sampai ke puncak.

Tinggalkan komentar