Ikhlas adalah Ruh Ibadah


Amalan lahiriah merupakan kerangka, sedangkan ruhnya adalah ikhlas yang tersembunyi dalam amalan tersebut

Amal lahiriah digambarkan sebagai batang tubuh dan ikhlas digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan batang tubuh itu. Seandainya kita kurang mendapat efek yang baik dari latihan keruhanian, hendaklah kita merenung dengan mendalam terhadap batang tubuh amal, apakah ia bernyawa atau tidak.

Hikmah sepuluh ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Hikmah sembilan yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua Kalam Hikmah ini membina jembatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan pencahayaan Nur Ilahi. Apabila Allah swt berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. nur yang dipancarkan kepada hati dinamakan Nur Sir atau Nur Rahasia Allah swt. Hati yang diterangi oleh nur akan merasakan hal ketuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan. Setelah mendapat pertanda dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan. Hati yang memiliki ciri atau sifat begini adalah hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Tuhan berfirman untuk menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan ma’rifat:

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS. Yusuf: 24).

Nabi Yusuf as adalah hamba Allah swt yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah swt. Apabila dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahasia Allah swt akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah swt dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan dekat dengan Allah swt. Mata hatinya senantiasa memandang kepada Allah swt baik semasa beramal ataupun semasa terdiam. Allah swt sendiri yang memeliharanya. Allah swt mengajarkan agar hamba-Nya terhubung dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.

“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam” (QS. Al-Mu’min: 65).

Allah swt Yang Maha Hidup. Dia memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. apa saja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa saja yang hidup adalah diperhidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah swt adalah nikmat dan karunia, sementara jalan dari hamba kepada-Nya harus disertai dengan ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah swt ini, hamba tidak boleh merasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)” (QS. Al-Mu’min: 14).

Allah swt telah menetapkan kode etik kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas karena Allah swt, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan. Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan dibawa bersama apabila menemui Tuhan kelak.

Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya)” (QS. Al-A’raf: 29).

Sekalipun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi, namun haruslah diusahakan agar memperoleh keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan baik yang lahir maupun yang batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa cinta terhadap Allah swt akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahwa Allah swt jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba berkewajiban tunduk, patuh, dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam maqam ini beramal karena Allah swt; karena Allah swt yang memerintahkan supaya beramal, karena Allah swt berhak ditaati, karena perintah Allah swt wajib dilaksanakan, semuanya karena Allah swt, tidak karena sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat memborgol hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah swt. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira karena menjadi hamba Allah swt yang beramal karena Allah swt. Sifat kemanusiaan masih mempengaruhi hatinya.

Setelah keruhaniannya meningkat, hatinya dikuasai sepenuhnya oleh perlakuan Allah swt menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada diri dan amalnya tetapi melihat llah swt, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Apa saja yang ada bersamanya adalah anugreah Allah swt. Sabar, ridha, tawakal dan ikhlas yang ada bersamanya merupakan anugerah Allah swt, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.

Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah swt. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, yaitu hamba yang mentaati Tuannya karena mengharapkan upah dari Tuannya itu.

Di bawah tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas, seseorang beramal karena suatu tipuan keduniaan; mau dipuji, mau menutupi kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam tipuan rendah lainnya. Golongan ini walaupun banyak melakukan amalan, namun amalan mereka seumpama tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan dihadapan Tuhan nanti akan menjadi debu yang tidak memberi syafaat terhadap orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah swt haruslah menguasakan ikhlas pada amalannya karena tanpa ikhlas akan menjadi syirik yang menyertai amalan tersebut.

“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (QS. Al-Hajj: 31).

Dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim” (QS. Yunus: 105-106).

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Hajj: 37).

Allah swt menyeru sekaligus cupaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan dari syirik. Jika suatu amal dilakukan dengan anggapan bahwa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudharat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas akan muncul syirik, yaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu dituukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu disebut orang yang zalim, walaupun pada lahiriyahnya dia tidak menzalimin siapapun.

Intisari kepada ikhlas adalah melakukan sesuatu semata-mata karena Allah swt, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir dari nafsu. Nafsu menginginkan kemewahan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir dari nafsu itulah yang sering menghalangi atau merusakkan ikhlas.

2 Tanggapan to “Ikhlas adalah Ruh Ibadah”

  1. Eksistensi Ikhlas ini yang kurang dimaknai dengan mendalam….

Tinggalkan komentar