Pembicaraan tentang Metode Kaum Sufi (2)


Tak antara lama, aku meninggalkan Baghdad lalu aku lepaskan semua yang pernah menjadi milikku yang terdiri dari harta benda dan tidak ada yang aku simpan melainkan sekadarnya saja untuk mencukupi kebutuhan dan sekadar makanan pokoknya anak-anak dengan pertimbangan harta yang berada di Iraq memang disediakan untuk kemaslahatan sebab dia merupakan harta yang telah diwakafkan kepada orang-orang Islam. Karena saya tidak melihat di dunia ini akan harta yang telah digunakan oleh seorang yang alim untuk mencukupi keluarganya melebihi harta tersebut dalam hal kemaslahatannya.

Kemudian aku masuk negeri Syam lalu aku menempat di sana kurang lebih dua tahun di mana tidak terdapat kesibukan lain kecuali uzlah, khalwah riyadhah dan mujahadah dengan maksud utama membersihkan diri, melatih dan mendidik akhlak dan memurnikan hati untuk berdzikir kepada Allah SWT sebagaimana petunjuk ilmu tasawuf yang telah berhasil aku kuasai. Lantas aku mengadakan kunjungan ke masjid Damsyik (Damaskus) dan aku melakukan I’tikaf di sana beberapa saat lamanya. Kemudian aku naik di atas menara masjid sepanjang hari dan tak lupa aku mengunci pintunya.

Setelah aku selesai beri’tikaf di Masjid Damaskus, aku kembali meneruskan perjalanan menuju ke Baitul Muqaddas kemudian aku melakukan tindakan yang sama seperti di kala aku berada di Masjid Damaskus.

Setelah beberapa lama aku berada di Baitul Mmuqaddas, tergeraklah olehku keinginan dan panggilan untuk menunaikan ibadah haji dan minta bantuan dari beberapa barakahnya Makkah dan Madinah serta berziarah kepada Rasulullah SAW setelah rampung melakukan ziarah ke Al-Khalil Ibrahim AS.

Kemudian aku melakukan perjalanan menuju Hijza, tetapi aku terseret oleh cita-citaku dan seruan anak-anakku untuk menengoknya, sesudah sekian lama aku tidak kembali kendatipun tadinya aku sudah memutuskan tidak akan kembali lagi untuk selama-lamanya.

Lagi-lagi uzlah mendapatkan kedudukan utama dan mendatangkan keinginan yang kuat untuk berkhalwat dan membersihkan hati hanya untuk berdzikir kepada Allah. Adalah berbagai kejadian dan peristiwa zaman, tugas-tugas penting keluarga dan beberapa keharusan penghidupan yang justru merubah tujuan yang sedang dicita-citakan serta mengganggu kejernihan khalwat, sehingga keadaan tidak menjadi tenang dan jernih lagi kecuali dalam waktu-wakatu yang berbeda-beda. Namun kendatipun demikian aku tidak akan memutuskan keinginan untuk berkhalwat serta membersihkan hati tersebut. Sehingga demi mencapai keinginanku itu aku harus menghadapi berbagai rintangan dan kembali bertarung dengannya. Dan keadaan seperti itu berlangsung kira-kira sepuluh tahun.

Di tengah-tengah khalwatku ini tersingkap beberapa perkara yang tidak mungkin dihitung dan tidak mungkin diselidiki sedalam-dalamnya. Sedangkan ukuran yang aku sebutkan yang sekadar untuk dipetik manfaatnya adalah bahwa golongan sufi adalah mereka yang meniti jalan Allah SWT saja dan perjalanan hidup mereka merupakan jalan yang paling lurus, akhlak mereka merupakan akhlak yang paling bersih dan suci. Bahkan andaikata akalnya orang-orang yang kreatif, kebijaksanaannya para cendekiawan, ilmunya orang-orang yang menekuni dan mendalami rahasia-rahasia syara’ yang terdiri dari pada ulama mau merubah saja sedikit dari perjalanan hidup mereka dan akhlak mereka lalu mereka menggantinya dengan yang lebih baik niscara tidak mungkin akan bisa. Sebab segala gerakan mereka dan ketenangan mereka di dalam lahir dan batinnya memang dipetik dan dipancarkan dari cahaya lampu kenabian, padahal di balik cahaya kenabian yang terdapat di dunia ini tidak lagi ditemukan cahaya yang bisa dipakai untuk menerangi.

Secara globalnya saja, lantas apa kara orang tentang terikat (cara) golongan sufi itu? Padahal syarat utama dari pada tarikat ini adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah ta’ala sedangkan kuncinya yang menempati kedudukan keharaman dari pada shalat adalah menenggelaman hati secara keseluruhan dengan berdzikir kepada Allah. Dan akhir dari pada syaratnya adalah melebur diri secara keseluruhan kepada Allah, di mana ini merupakan bagian akhir bila disandarkan kepada sesuatu yang hampir saja masuk di bawah ikhtiar dan kasab sejak dari permulaan.

Dan tarekat semacam ini menurut kenyataannya merupakan permulaan tarekat, sedangkan apa yang sebelum itu hanya bagaikan koridor (gang yang terdapat di dalam rumah) bagi seorang yang akan berjalan melewatinya. Dan justru dari permulaan tarekat inilah mukasyafah (tersingkapnya segala tabir) dan musyahadah (dapat melihat dengan jelas) dimulai, sehingga mereka dalam keadaan terhadi dapat menyaksikan malaikat dan ruh-ruhnya para nabi ditambah lagi mereka masih bisa mendengarkan suara-suara mereka lalu dari mereka pula golongan tarekat ini dapat memetik berbagai faidah. Kemudian keadaannya menjadi meningkat mulai dari penyaksian terhadap beberapa gambar dan lukisan sampai kepada derajat yang sulit untuk diucapkan oleh mulut dan sudah sulit lagi untuk digambarkan. Dan kalaupun harus diucapkan niscaya akan menimbulkan kekeliruan yang besar sekali di mana sudah tidak mungkin lagi untuk dilindungi dan secara kesimpulannya perkara yang demikian ini akan sampai kepada suatu tempat yang hampir saja mendekati imajinasi yang telah digambarkan oleh “Kelompok Hulul”, “Kelompok Ittihad”, dan “Kelompok Wusul”. Sedangkan semua itu adalah keliru, di mana segi kekeliruannya telah kami jelaskan di dalam “Kitab Al-Maqshad Al-Iqsha”, bahkan orang telah mengena dan mengalami keadan yang semacam itu tidak seyogyanya menambatas atas apa yang telah diucapkan oleh syair:

“Dan apa yang telah terjadi termasuk sesuatu yang tidak perlu aku sebutkan, sebab dia disangka baik, tetapi anda tidak bertanya dulu tentang khabar kebaikan itu”.

Sedangkan secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa siapa saja yang tidka mendapat anugerah sedikir dari cita rasa, niscaya dia tidak akan mampu mengetahui sebagian hakikat kenabian, melainkan hanya sekadar mengena namanya saja, menurut kenyataannya beberapa karamahnya wali merupakan langkah awal dari pada nabi, dan terbukti bahwa hal itu merupakan keadaan permulaan Rasulullah SAW tatkala beliau menuju Ke Gua Hira di mana di sana beliau menuju ke Gua Hira di mana di sana beliau menyadari serta beribadah kepada Tuhannya sehingga bangsa Arab berkata: “Sesungguhnya Muhammad sangat rindu kepada Tuhannya”. Keadaan yang seperti ini hanya bisa diketahui secara pasti dengan menggunakan cita rasa oleh orang yang biasa menggunakan cara yang seperti itu. Maka barang siapa yang tidak dikarunia cita rasa niscaya dia akan bisa menyakiti keadaan yang seperti itu dengan cara eksperimen (percobaan) dan dengan cara dengar mendengarkan jika hanya dia banyak bersahabat dengan mereka sehingga dia benar-benar faham dengan beberapa bukti keadaan. Lantas barang siapa yang mau satu majlis dengan mereka niscaya dia akan dapat menyerap faidah keimanan ini dari mereka. Sebab mereka merupakan suatu kaum di mana teman duduknya tidak akan mengalami celaka. Dan barang siapa yang tidak mendapatkan bagian menemani mereka, niscaya dia akan tahu kemungkinannya hal itu secara yakin dengan saksi dalil-dalil sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam “Kitab Ajaib Al-Qalb” yang kami sunting dari “Kitab Ihya Ulumiddin”.

Menegaskan dengan dalil merupakan suatu ilmu, sedangkan mengenakan inti keadaan itu merupakan cita rasa, dan menerima dari hasil dengan mendengarkan dengan husnuzan (baik sangka) merupakan keimanan. Inilah tiga derajat, sebagaimana yang sudah tertuang di dalam firman Allah ta’ala:

“Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orangorang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat” (Al-Mujadalah: 11).

Di samping kaum sufi ini yang telah mencapai derajat yang demikian tadi, banyak terdapat kaum yang dungu. Mereka inilah yang tidak mengakui pokok dan asal hal itu di mana mereka mengagumi omongan ini, mereka mendengarkan lalu mereka mengejek dan katanya: “Sungguh mengherankan, bagaimana mereka bisa mengigau.” Terhadap orang-orang yang berkomentar demikian ini Allah ta’ala berfirman:

“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataan sehingga apabila mereka ke luar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apa yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu meeka.” (Muhammad: 16).

Di antara latihan tarekat kaum sufi yang telah berhasil aku kuasai dengan jelas adalah hakikat kenabian serta khasiatnya. Oleh karena itu sudah seharusnya dikemukakan menurut aslinya, mengingat kepada sangat pentingnya kebutuhan akan hal itu.

Tinggalkan komentar