Membahas Beberapa Bagian Ilmunya Para Filosof


1.    Ilmu Mantiqiyyah (Logika):

Ilmu ini juga sama sekali tidak ada konteksnya dengan agama, baik ditetapkan atau tidak ditetapkan, bahkan dia hanya merupakan analisa tentang cara-cara mencari dalil-dalil, cara mencari analog, cara mencari beberapa syarat dalil pendahuluan dan cara merangkumnya, cara mencari beberapa syarat definisi yang benar dan bagaimana cara mengurutkannya.

Ilmu ini bias terdiri dari:

  1. Ilmu Tashawwur, sedangkan cara mengetahuinya adalah dengan mengetahui definisinya yang pas.
  2. Ilmu Tasdiq, adapun cara mengetahuinya adalah dengan mengemukakan dalil.

Dalam masalah ini tidak ada lagi sesuatu yang perlu untuk diingkari sebab dia merupakan jenis yang telah disebutkan oleh Ulama ahli kalam (Teologian) dan orang-orang yang ahli menganalisa dalam berbagai dalil. Hanya saja mereka berbeda cara mengutrakannya dan cara memberikan istilah dan ditambah lagi dengan terlalu bertele-tele dalam mendefinisikan dan mencabangkannya. Kita ambil saja sebuah contoh dari ucapan mereka: “Jika telah ditetapkan bahwa setiap A pasti B, maka sudah seharusnya bila sebagian B berarti A, dengan pengertian apabila setiap insan pasti hewan, maka sudah sewajibnya bila sebagian hewan adalah insan”.

Dari contoh di atas ini mereka memberikan gambaran bahwa “Mujabah Kulliyyah”(*) berkebalikan dengan “Mujabah Juz’iyyah”, lalu mana hubungan yang ada kaitannya dengan kepentingan agama sehingga mesti harus diingkari dan tidak diakui. Maka apabila tidak diakui, tidak membuahkan hasil apa-apa terhadap mantik (logika) yang paling jelek itikadnya terhadap akalnya orang yang ingkar, bahkan dalam agamanya yang telah mempunyai dugaan kuat bahwa agama itu hanya mandeg pada pengingkaran yang seperti ini.

Ya, mereka memang memiliki semacam kezaliman dari ilmu ini, yaitu mereka berkonsensus membikin beberapa syarat bagi sebuah dalil yang bisa diketahui bahwa syarat-syarat itu menghasilkan suatu keyakinan yang tidak bisa ditawar lagi, tetapi ketika mereka sampai kepada tujuan-tujuan agama, ternyata mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu bahkan mereka menganggap mudah sepenuhnya. Barangkali mereka melihat di dalam ilmu Mantik juga, akan adanya seseorang yang dia anggap baik lalu dia melihatnya sebagai yang lebih menonjol dia menduga bahwa apa saja yang diambil dari mereka termasuk perkara yang kufur sembari memperkuat dengan dalil-dalil itu.

Oleh karena itu dia tergesa-gesa melakukan kekufuran sebelum dia sampai kepada ilmu-ilmu ketuhanan, sehingga hal ini merupakan bahaya juga.

2.    Ilmu Thabi’iyyah (Alam):

Ilmu ini membahas tentang benda-benda langit dan beberapa bintang serta apa saja yang terdapat di bawahnya dari benda-benda tunggal seperti air, udara, debu, dan api dan benda-benda yang memiliki bagian-bagian (susunan) seperti hewan, tumbuh-tumbuhan dan pertambangan. Ilmu ini juga membahas tentang sebab-sebab perubahan, peralihan, dan tabiat benda-benda itu. Semuanya itu menyerupai pembahasan seorang dokter tentang badan manusia beserta anggota-anggotanya yang pokok dan yang tidak pokok, dan juga membahas tentang peralihan temperamennya.

Seperti halnya tiada satupun syarat agama yang mengharuskan untuk mengingkari “ilmu kedokteran”, maka tidak merupakan syarat agama untuk mengingkari ilmu alam kecuali dalam beberapa masalah tertentu yang kami sebutkan di dalam kitab “Tahafut al-Falasifah” dan masalah-masalah lain selain masalah ini yang terus ditentang.

Jika sudah diangan-angan, niscaya akan menjadi jelaslah bahwa masalah-masalah itu sebenarnya tersusun rapi di bawah ilmu alam, sedangkan garis besarnya haruslah diketahui bahwa ala mini dikendalikan oleh Allah Ta’ala, jadi tidak bekerja dengan sendirinya, bahkan alam ini dipekerjakan dari sisi Penciptanya. Matahari, bulan, dan bintang serta unsure-unsur alam semesta adalah tunduk di bawah perintah-Nya, sehingga tiada satupun benda yang bekerja dengan sendirinya tanpa perintah Allah SWT.

3.    Ilmu Ilahiyyah (Teologi):

Di dalam ruang lingkup ilmu ini terjadi banyak kesalahan yang diperbuat oleh kebanyakan para filosof. Mereka tidak mampu menepati dalil-dalil yang telah mereka syaratkan dalam ilmu mantik, sehingga dengan demikian banyak terjadi berbagai macam perselisihan faham di kalangan mereka sendiri mengenai ilmu ini. Mengenai ilmu teologi ini, aliran Aristoteles hamper menyerupai alirannya orang-orang Islam menurut pendapat yang telah dinukil oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Akan tetapi semua kekeliruan pendapat mereka kembali kepada dua puluh pokok permasalahan, yang tiga dari kedua puluh masalah itu wajib mengkafirkan mereka, sedangkan yang tujuh belas wajib membid’ahkan mereka.

Demi menghapus aliran mereka dalam dua puluh masalah ini kami sengaja mengarang kitab “Tahafut al-Falasifah”. Adapun masalah yang tiga itu memang tidak disetujui oleh keseluruhan orang Islam, yaitu pendapat mereka yang mengatakan:

  1. Sesungguhnya badan manusia tidak dibangkitkan di Padang Mahsyar.
  2. Yang mendapat ganjaran serta siksaan itu hanyalah ruh saja atau badan ruh saja.
  3. Berbagai siksaan itu sifatnya ruhani tidaklah jasmani.

Jadi mereka telah membenarkan dalam penetapan ruhani, sehingga badan ruhani itu benar-benar ada juga tetapi mereka mendustakan terhadp pengingkaran jasmani lalu mereka mengingkari syariah dalam masalah-masalah yang mereka ucapkan. Di antaranya adalah ucapan mereka: “Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya mengetahui perkara-perkara yang bersifat global dan tidak mengetahui perkara-perkara yang sifatnya perincian (parsial)”. Maka ucapan seperti ini juga merupakan kekufuran yang nyata. Sebab yang benar adalah apa yang telah difirmankan Allah Ta’ala:

“Tidak ada tersembunyi dari pada-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi…” (QD. Saba: 3).

Di antaranya lagi adalah ucapan mereka: “Dunia ini dahulu azali”. Sehingga tiak ada seorang Islam pun yang mempunyai pendapat yang sesuai dengan salah satu dari masalah-masalah ini.

Adapun masalah-masalah yang di balik masalah di atas yang berupa perhatian terhadap sifat-sofat Allah dan pendapat mereka bahwa Allah itu hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak pernah dari itu dan apa yang yang berkisar pada zat itu sendiri maka aliran mereka yang seperti ini mirip dengan aliran Mu’tazilah. Dan kita tidak boleh mengkafirkan Mut’azilah sebab contoh yang seperti itu.

Di dalam Kitan “Faishal At-Tafriwah baina’l wa Al-Zindiqah” telah kami sebutkan sesuatu yang menjelaskan rusaknya pendapat seseorang yang tergesa-gesa mengkafirkan segala sesuatu  yang bertentangan dengan alirannya.

4.    Ilmu Siyasiyyah (Politik):

Semua pembicaraan mereka (para filosof) tentang ilmu ini kembali kepada hokum kemaslahatan yang masih ada konteksnya dengan urusan-urusan kekuasaan dunia. Mereka mengambilnya dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan dari hikmah-hikmah (kata-kata mutiara) yang biasa dipakai oleh para wali yang dahulu.

5.    Ilmu Khalqiyyah (Etika):

Seluruh pembicaraan para filosof mengenai masalah ilmu etika ini kembali kepada pembatasan sifat-sifat jiwa dan beberapa pekertinya, menyebutkan jenis dan macam ragamnya, bagaimana cara mengobatinya dan melatihnya. Mereka mengambil ilmu ini dari golongan sufi yaitu golongan ketuhanan yang senantiasa ingat kepada Allah ta’ala dan senantiasa memerangi hawa nafsu, menempuh jalan untuk sampai kepada Allah dengan cara berpaling dari kelezatan duniawi.

Dalam melatih jiwa mereka ini, tersingkaplah dari etika jiwa, cacat-cacat jiwa, dan berbagai pekerjaan jiwa akan sesuatu yang telah mereka jelaskan. Kemudian cara yang seperti ini diambil oleh kelompok filosof lalu mereka campur aduk dengan omongan-omongan mereka sebagai sarana untuk menghias diri dengan teori yang telah dilakukan oleh golongan sufi guna melariskan kebatilan mereka.

Pada masa mereka, bahkan pada setiap masa terdapat sekelompok ahli ketuhanan yang sengaja oleh Allah dunia ini tidak dikosongkan dari mereka, sebab mereka merupakan paku-paku bumi yang dengan barakah mereka turunlah rahmat kepada penghuni bumi ini sebagaimana pernyataan yang telah disebutkan dalam hadits di mana Rasulullah SAW bersabda: “Sebab adanya mereka, penghuni bumi dituruni hujan, sebab mereka pula penghuni bumi diberi rizki, dan di antara mereka pula terdapat penghuni Gua (Ash-habul Kahfi).

Konon mereka pada masa-masa dulu berdasarkan atas apa yang telah diucapkan oleh Al-Quran sehingga dari percampur-adukan mereka ini lahirlah omongan (perkataan) nubuwwah dan perkataan golongan sufi yang dicatatan mereka terdapat dua afat (bahaya): bahaya pertama bagi orang yang menerima sedangkan bahaya yang kedua bagi haknya orang yang menolak.

Bahaya 1:

Bahayanya bagi orang yang menolaknya amatlah besar, jika sekelompok orang yang lemah menduga bahwa omongan itu, bila telah dibukukan di dalam kitab-kitab mereka dan telah dicampur-aduk dengan kebatilan mereka sudah seyogyanya disingkiri dan tidak perlu disebut-sebut, bahkan hendaknya tidak percaya kepada setiap prang yang menyebut-nyebutnya. Sebab jika pertama kali mereka tidak mendengarnya kecuali dari mereka, maka oleh akal mereka yang lemah itu akan timbullah kesan bahwa omongan itu merupakan omongan yang batil, karena orang yang mengomongkannya saja adalah orang yang batil. Contohnya seperti orang yang mendengar dari orang Nasrani akan ucapan: “Tiada Tuhan selain Allah, Isa adalah Rasul (utusan) Allah”, lantas dia mengingkarinya dan berkata: “Ini adalah omongannya seorang Nasrani” dan dia tidak ragu lagi tatkala dia mengangan-angan bahwa orang Nasrani itu kafir menilik kepada ucapannya ini atau menilik kepada pengingkarannya kepada Nabi Muhammad SAW, maka apabila dia tidak kafir kecuali dengan menilik pada pengingkarannya terhadap kenabian Muhammad, seyogyanyalah tidak menentang selain kekafirannya itu yakni perkara yang ternyata benar pada dirinya, dan kendatipun baginya juga merupakan perkara yang benar. Demikian inilah kebiasaan orang yang lemah dan kerdil akalnya di mana mereka membuat batasan kebenaran dipandang dari orangnya dan tidak membikin suatu ukuran kebenaran terhadap orangnya. Seorang yang berfikir secara rasional pasti dia akan mengikuti cara berfikirnya pemuka ahli fikir Ali ra. di mana dia pernah bilang:

“Janganlahlah kamu mengenali suatu kebenaran dari manusianya, tetapi kenalilah apa kebenaran itu, kemudian kamu baru akan dapat mengenali siapa yang memiliki kebenaran itu”.

Memang ada sekelompok orang yang belum meneliti secara cermat akan rahasia berbagai ilmu dan belum mencoba menelusuri poin-poin madzhab yang paling jauh, membantah sementara kata-kata paten di dalam karangan-karangan kami tentang berbagai rahasia agama. Mereka menduga bahwa kata-kata itu merupakan sebagian omongannya orang-orang filosof jaman dulu di mana sebagiannya melahirkan berbagai kegentingan dan tidak ayal lagi akan terjerumus di dalam lobang, sedangkan yang lainnya terdapat di dalam kitab-kitab syariat dan kebanyakan kitab-kitab syariat ini maksudnya terdapat di dalam kitab-kitab sufi yang kemungkinan tidak bakal ditemukan di dalam kitab-kitab mereka.

Maka apabila omongan mereka itu logis (bisa diterima akal) dan diperkuat serta ditopang oleh dalil-dalil yang nyata serta tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunah, tidaklah seyogyanya apabila omongan mereka itu disingkiri dan diingkari.

Andaikata kita membuka bab ini lalu kita mengambil langkah menyingkiri setiap kebenaran karena didahuluinya orientasi kita pada pemikirannya orang yang keliru, maka wajiblah bagi kita menyingkiri banyak kebenaran dan haruslah kita menyingkiri sejumlah ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah, hikayat-hikayat Ulama Salaf. Perkataannya para cerdik cendekia dan orang-orang sufi, sebab pengarang kitab “Ikhwan Ash-Shafa” telah menurunkannya di dalam kitabnya sembari mencari kesaksian dan memperdayakan hatinya orang-orang bodoh dengan perantaraan hal-hal itu menuju kepada kebatilannya dan kepalsuan yang dibuatnya, dan hal itu mengajak kepada usahanya orang-orang yang senantiasa menyalahkan kebenaran dari tangan-tangan kita dengan menitipkan omongan-omongannya di dalam kitab-kitab mereka.

Setidak-tidaknya orang yang yang memiliki pengetahuan akan bisa membedakan dirinya dari orang awam yang dungu tidak berpendidikan, sebab orang-orang yang berpengetahuan tidaklah bakalan mengatakan madu itu busuk tidak enak kendatipun dia menemukannya di dalam tempat (bejana) pembekam, dan dia akan berkeyakinan bahwa bejana pembekam itu tidak akan bisa merubah zat madu. Sedangkan keengganan tabiat dari madu itu berdasar atas kebodohan umum yang punya persepsi bahwa tempat (bejana) pembekan itu hanya sengaja dibikin untuk tempat darah yang menjijikkan, sehingga ia beranggapan bahwa darah itu menjijikkan karena ditempatkan dalam kaleng pembekam dan dia tidak tahu bahwa darah itu mempunyai cirri yang menjijikkan dengan sendirinya. Sebab tatkala sifat ini hilang pada madu itu maka keadaannya di dalam tempatnya tidak menjadi masalah lagi bagi madu itu sehingga tidak perlu dianggap busuk dan menjijikkan, dan anggapan yang semacam ini adalah suatu anggapan yang keliru dan sudah merupakan anggapan yang lumrah bagi kebanyakan makhluk.

Senyampang omongan itu dinisbatkan dan disandarkan kepada pembicara yang sesuai dengan keyakinan mereka maka mereka terima omongan itu kendatipun omongan itu tidak benar. Dan jika omongan itu disandarkan dan dilontarkan oleh orang yang tidak cocok lagi dan tidak berkenan di hati mereka, niscaya omongan itu mereka tolak meskipun kenyataannya omongan tersebut merupakan omongan yang benar. Oleh karena itu selamanya mereka akan mengetahui bahwa kebenaran itu tergantung kepada siapa yang berbicara dan mereka tidak akan mengenali seseorang dari sisi kebenarannya, dan inilah kesesatan yang paling final, di samping itu, ini juga merupakan bahayanya orang yang tidak mau menerima omongan kaum filosof etik.

Bahaya kedua:

Bahaynya orang yang menerima omongan kaum filosof etik. Sebab orang yang telah melihat di dalam kitab-kitab mereka seperti “Ikhwan As-Shafa” dan lain-lainnya lalu dia melihat apa yang telah mereka campur aduk dengan omongan mereka dari hikmah-hikmah kenabian serta kata-katanya golongan sufi, barangkali dia akan menganggap bagus lalu menerimanya dan mempunyai itikad baik terhadap kaum filosof etik ini sehingga dia akan tergesa-gesa menerima kebatilan mereka yang telah diramu dengan dugaan baik dari hasil penglihatannya dan anggapan baiknya, dan ini merupakan salah satu bentuk pemerdayaan ke arah kebatilan.

Karena bahaya inilah, wajib hukumnya melarang menelaah kitab-kitab mereka, sebab di sana terdapat kecurangan dan tipuan. Seperti halnya kita wajib menjaga orang yang tidak pandai berenang dari licinnya tepi laut, kita juga wajib menjaga manusia dari menelaah kitab-kitab itu. Contoh lain, juga wajib menjaga anak-anak dari usaha memegang ular, maka kita wajib menjaga pendengaran dari campur aduknya omongan-omongan mereka. Demikian pula seorang pawing ular wajib menyelamatkan putranya yang masih kecil dari usahanya menjamah ular yang berada di dekatnya, bila kenyataannya dia tahu bahwa anaknya itu akan menirunya seperti apa yang dia lakukan karena setidak-tidaknya anaknya ini mempunyai dugaan akan bisa melakukan seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya. Oleh karena itu tindakan yang harus dilakukan adalah menakut-nakuti anaknya untuk takut kepada ular tersebut di samping itu dia sendiri harus berlaku hati-hati di depan ular pada saat anaknya berada di sisinya. Begitulah semestinya keteladanan yang harus ditiru oleh seorang yang alim yang amat mapan ilmunya. Seperti halnya sorang pawang yang telah mahir, jika dia memegang seekor ular lalu dia bisa membedakan mana yang air penawar dan mana yang bisa, sehingga karena keahiannya pawang ini bisa mengeluarkan air penawar dan mensirnakan bisa. Maka tindakan selanjutnya dia tidak perlu bertindak bakhil untuk memberikan air penawar sebagai obat atas orang yang membutuhkannya. Demikian pula seorang kasir yang cermat dan pengalaman, jika telah memasukkan tangannya di dalam kantong yang berisi berbagai mata uang lalu di sana dia bisa mengeluarkan emas yang murni dan dia tinggalkan yang palsu dan yang tiruan maka dia tidak boleh bertindak bakhil tidak mau memberikan uang emas yang masih murni lagi pula disenangi kepada orang yang membutuhkannya, dan seperti demikian itulah mestinya seorang yang pandai mengambil suatu missal. Demikian pula seorang yang butuh kepada air penawar sebagai obat, jika dirinya tidak suka terhadap air penawar itu karena dia sudah tahu bahwa air penawar tersebut berasal dari seekor ular yang merupakan tempatnya bisa.

Seorang kafir yang amat membutuhkan kepada harta, jika dia berpaling dari emas yang telah dikeluarkan dari kantong yang berbagai macam uang, maka dia harus diingatkan bahwa keengganannya menerima uang emas merupakan suatu kebodohan yang menyolok yang sekaligus merupakan terdindingnya dari keberhasilan yang sudah merupakan tuntunannya dan dia harus diberitahu bahwa berkumpulnya emas murni yang murni dengan emas yang palsu tidaklah akan menjadikan yang murni itu menjadi palsu, dan sebaliknya berkumpulnya emas yang palsu dengan emas yang murni juga tidak bisa merubah yang palsu itu menjadi murni. Demikian pula berkumpulnya perkataan yang benar dengan perkataan yang batil tidaklah bisa menjadikan perkataan yang batil itu menjadi benar dan sebaliknya perkataan yang benar itu menjadi batil. Inilah ukuran yang kami maksudkan dari bahayanya ilmu filsafat.


(*) Susunan di dalam Ilmu Mantik terdapat susunan mujabah (positif) dan susunan salibah (negatif).

Tinggalkan komentar