Tiada Kesempurnaan Tanpa Ikhlas


Tanamkan wujudmu dalam bumi yang tersembunyi, karena yang tumbuh dari sesuatu yang tidak ditanam itu tidak sempurna hasilnya

Hikmah sebelumnya mengarahkan pandangan kita kepada ikhlas. Ikhlas menjadi kekuatan yang dapat menghalau syirik. Jalan syirik adalah kepentingan diri sendiri. Oleh sebab itu, diri sendiri harus diperhatikan untuk menjauhkan terjadinya syirik. Bila kepentingan diri sendiri ditundukkan, barulah muncul keikhlasan.

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Adz-Dzariyat: 21).

Hikmah sebelas mengajak kita menyelami persoalan yanglebih halus, yaitu hakikat diri kita sendiri atau wujud kita. Kita dijadikan dari tanah, maka kembalikan ia (jasad) kepada tanah, yaitu ia (jasad) harus dilayani sebagai tanah supaya ia tidak menggunakan tipu dayanya. Apabila sudah dapat menghindari pengaruh jasad, selanjutnya kita berurusan dengan ruh. Ruh datangnya dari Allah swt, karena ruh adalah urusan Allah swt, maka kembalikan ia kepada Allah swt. Apabila seorang hamba sudah tidak terikat lagi dengan jasad dan ruh, maka jadilah ia bekas yang sesuai untuk diisi oleh Allah swt.

Pada awal perjalanan, seorang pengembara keruhanian membawa bersamanya sifat-sifat basyariyah serta kesadaran terhadap diri dan alam nyata. Dia dikawal oleh kehendak, pemikiran, cita-cita, angan-angan dan lain-lain. Anasir-anasir alam seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan turut mempengaruhinya. Latihan keruhanian menghancurkan sifat-sifat yang keji dan memutuskan rantaian pengaruh anasir-anasir alam.

Jika diperhatikan Kalam-kalam Hikmah sebelumnya dapat dilihat bahwa hijab nafsu dan akal yang membungkus hati mengakibatkan kebenaran menjadi tidak kelihatan. Akal yang ditutupi oleh kegelapan nafsu, yaitu akal yang tidak menerima pancaran nur, tunduk kepada perintah nafsu. Nafsu tidak pernah kenyang dan akal senantiasa menyiapkan jawaban dan alasan. Dalil akal menjadi benteng yang kukuh untuk bersembunyinya nafsu. Jangan memandang enteng kepada kekuatan nafsu dalam menguasai akal dan pancaindera. Al-Quran telah memberi peringatan mengenainya:

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (dari binatang ternak itu) (QS. Al-Furqan: 43-44).

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (QS. Al-A’raf: 176).

Manusia yang menerima ayat-ayat Allah swt seharusnya menjadi mulia, tetapi bertukar menjadi hina dikarenakan mereka memperturutkan hawa nafsu. Ayat-ayat Allah swt dapat memancarkan cahaya pada hati dan akalnya, akan tetapi kegelapan nafsu membungkus cahaya itu. Di dalam kegelapan nafsu, akal membuat hujah untuk mendustakan ayat-ayat Allah swt yang dia sendiri mengetahuinya. Allah swt membuat penggambaran yang hina bagi orang yang seperti ini. Mereka umpama anjing yang yang tidak berfikir dan tidak berwibawa. Buruk sekali pandangan Allah swt terhadap orang yang mempertuhankan nafsunya. Nafsu yang tidak mengenal puas seumpama anjing yang senantiasa menjulurkan lidahnya, tidak memperdulikan walaupun dihalau berkali-kali.

Allah swt mewahyukan ayat-ayat yang menceritakan tentang kehinaan manusia yang menerima ayat-ayat-Nya tetapi masih juga memperturutkan hawa nafsu, supaya ajaran yang demikian memberi kesadaran kepada mereka. Jika kembali sadar, mereka akan keluar dari kegelapan nafsu. Dengan panduan ayat-ayat Allah swt yang sudah mereka ketahui akan ditemukan jalan yang benar.

Ayat-ayat yang diturunkan Allah swt memberi pemahaman kepada Rasulullah saw bahwa cendekiawan Arab yang menentangnya bukan karena tidak dapat melihat kebenaran yang dibawa Rasulullah saw, tetapi mereka dikuasai oleh kegelapan nafsu. Orang yang telah menerima cahaya kebenaran tetapi mendustakannya, itulah yang diberi perumpamaan yang hina oleh Allah swt.

Menurut cerita Ibnu Abbas, pada zaman Nabi Musa as ada seorang alim bernama Bal’am bin Ba’ura. Allah swt mengaruniakan kepada Bal’am rahasia khasiat-khasiat nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nabi Musa as dan kaum Bani Israil, setelah selamat dari Firaun, hampir sampai ke tempat tinggal Bal’am. Raja negeri tersebut ketakutan, kalau-kalau negerinya diserang oleh kaum yang telah berhasil menewaskan Firaun. Setelah bermusyawarah dengan penasihat-penasihatnya, raja tersebut memutuskan untuk meminta pertolongan Bal’am agar ia menggunakan ilmunya untuk mengalahkan Nabi Musa as. Bal’am yang mulanya tidak mau berbuat demikian tetapi akhirnya setuju juga setelah istri kecintaannya menerima sogokan dari raja. Menurut cerita, doa dan perbuatan Bal’am dimakbulkan Allah swt dan ia menjadi sebab kaum Nabi Musa terperangkap di Padang The beberapa tahun lamanya. Nabi Musa as mendoakan gar kaumnya terlepas dari tipu daya Bal’am, Allah swt memakbulkan doa tersebut dan pada waktu yang sama turun lakna kepada Bal’am.

Sebagian orang menganggap cerita di atas sebagai cerita Israiliyat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa cerita ahli kitab tidak dibenarkan dan didustakan seluruhnya. Cerita tersebut diungkapkan sekadar menunjukkan sejauh mana kekuatan nafsu menutupi pandangan hati sehingga Bal’am sanggup menentang Nabi Musa as walaupun dia mengetahui kebenarannya, sebagaimana cendekiawan Arab menentang Rasulullah saw sekalipun hati kecil mereka menerima kebenaran Baginda saw. Menundukkan nafsu bukanlah pekerjaan mudah. Seseorang perlu kembali kepada hatinya, bukan akalnya. Hati tidak akan berbohong dengan diri sendiri sekalipun akal menutupi kebenaran atas perintah nafsu. Kekuatan hati adalah ikhlas. Maksud ikhlas yang sebenarnya adalah:

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-An’am: 162).

Dalam ikhlas tidak ada kepentingan diri. Semuanya karena Allah swt. Selagi kepentingan diri tidak ditanam dalam bumi, selagi itu pula ikhlas tidak tumbuh dengan baik. Ia menjadi sempurna apabila wujud diri itu sendiri ditanamkan. Bumi tempat menanamnya adalah bumi yang tersembunyi, jauh dari perhatian manusia lain. Ia adalah seumpama kubur yang tidak bertanda.

Tinggalkan komentar