Ahli Asbab dan Ahli Tajrid (2)


Ahli asbab harus berbuat demikian karena dia masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih meyakini bahwa tindakan makhluk memberi efek terhadap dirinya. Oleh karena itu wajar sekiranya dia mengadakan tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain. Tanda Allah swt menjadikan seseorang pada kedudukan ahli asbab ialah apabila urusan dan tindakannya sesuai dengan hukum sebab-akibat dengan tidak mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah swt, tidak berlebihan dengan nikmat duniawi dan tidak merasa iri hati terhadap orang lain. Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum sebab-akibat maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi goncangan besar yang menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah swt. Ruhaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan menolak ke dalam maqam tajrid sebelum benar-benar kuat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa takdir supaya bertajrid. Orang ini awalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana kebanyakan manusia. Kehidupan seperti itu kemungkinan tidak memberikan kematangan ruhaninya. Diperlukan perubahan jalan baginya supaya berkembang dalam bidang keruhaniannya. Oleh karena itu takdir memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya menyelesaikan masalah. Sekiranya dia seorang raja, maka takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, maka takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang wanita cantik, maka takdir menghilangkan kecantikannya. Takdir memisahkan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Menerima ketetapan takdir yang demikian pada peringkat permulaan bagi ahli asbab akan membuatnya berikhtiar menurut hukum sebab akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya untuk menolong dirinya, dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas berikhtiar termasuk meminta bantuan kepada orang lain, kekuatan takdir tetap merombak sistem sebab-akibat yang terjadi atas dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada takdir. Dalam keadaan begitu, dia akan lari kepada Allah swt dan “merayu” agar Allah swt menolongnya. Pada peringkat ini seseorang akan kuat beribadah dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Tuhan. Dia benar-benar berharap Tuhan akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehingga dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Hilanglah harapannya untuk memperolehnya kembali. Dia merasa ridha dengan perpisahan ini. Dia tidak lagi merayu kepada Tuhan, sebaliknya dia menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Dia menyerah secara total kepada Allah swt, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah swt yang bertajrid. Apabila seorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah swt akan mengurus kehidupannya. Allah swt menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:

Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 60).

Makhluk Allah swt seperti burung, ikan, kuman dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rizkinya oleh Allah swt. Jaminan Allah swt itu meliputi juga untuk manusia. Tanda bahwa Allah swt memberikan karunia kepada hamba-Nya yang berada di dalam maqam tajrid ialah dengan memudahkan rizki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rizkinya atau ketika menerima cobaan.

Bila ahli tajrid dengan sengaja memindahkan dirinya kepada maqam asbab, maka hal ini bermakna bahwa dia melepaskan jaminan Allah swt lalu bersandar kepada makhluk. Hal ini menunjukkan kebodohannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah swt. Tindakan yang bodoh itu menyebabkan berkurangnya atau hilangnya keberkahan yang telah Allah swt karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali membimbing masyarakat kepada jalan Allah swt; walaupun tidak mempunyai pekerjaan tetap, namun rizki datang kepadanya dari berbagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pembelajaran yang disampaikan kepada masyarakat sangat berkesan sekali. Keberkahannya terlihat sekali, seperti doanya makbul dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Seandainya dia meninggalkan suasana tajrid lalu berasbab karena tidak puas hatinya dengan rizki yang diterima, maka keberkahannya akan hilang. Pembelajarannya, doanya, dan ucapannya tidak memiliki efek seperti ketika bertajrid. Ilham yang datang kepadanya menjadi tersendat-sendat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasanya.

Seorang hamba harus menerima dan ridha dengan kedudukan yang Allah swt karuniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah swt dengan yakin bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah swt mengetahui apa yang pantas bagi setiap makhluk-Nya. Allah swt sangat bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran maqam merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini mencakup kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali maka akan muncul kembali keinginan, cita-cita, dan angan-angannya. Nafsu mencoba untuk bangkit kembali menguasai dirinya. Orang asbab perlu menyadari bahwa keinginannya untuk pindah kepada maqam tajrid mungkin secara halus digerakkan oleh ego yang tertanam jauh di dalam jiwanya. Orang tajrid perlu menyadari bahwa keinginannya untuk kembali kepada asbab itu mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya. Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat melampaui semua maqam nafsu, tetapi nafsu pada level awal tidak kunjung padam. Oleh karena itu perjuangan atau mujahadah dalam kerangka mengawasi nafsu harus senantiasa berjalan.

Tinggalkan komentar