Perbuatan Zahir dan Suasana Hati


Sebagian dari tanda bersandar kepada amal (perbuatan zahir) adalah berkurangnya harapan (suasana hati) tatkala terjadi kesalahan.

Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmah beliau dengan mengajak kita merenungi hakikat amal. Amal dibagi kepada dua jenis, yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang berhubungan dengan perbuatan zahir itu. Beberapa orang melakukan perbuatan zahir yang sama tetapi suasana hati yang berhubungan dengan perbuatan zahir itu tidak sama. Kesan perbuatan zahir kepada hati akan berbeda antara seseorang dengan lainnya. Jika perbuatan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada perbuatan zahir. Jika hati dipengaruhi perbuatan batin, maka hati itu dikatakan bersandar kepada perbuatan, sekalipun ia melakukan perbuatan batin. Hati yang bebas dari bersandar kepada perbuatan zahir dan batin adalah hati yang menghadap kepada Allah swt dan meletakkan kepasrahan kepada-Nya tanpa terbawa perbuatan zahir dan batin, serta tunduk sepenuhnya kepada Allah swt tanpa disertai takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan perbuatan zahir dan batin walau banyak sekalipun sebagai alat tawar-menawar dengan Tuhan untuk mendapatkan sesuatu. Perbuatan tidak dijadikan perantara dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membatasi kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk mengikuti kepada perbuatan manusia. Allah swt berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi siapapun dan suatu apapun. Apa saja yang dikehendaki Allah swt adalah mutlak, tiada larangan, pengecualian dan pembatasan. Oleh karena itu orang arif tidak menjadikan amal sebagai alat untuk “memaksa” Allah swt berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah swt berada di atas dan perbuatan makhluk di bawah. Tidak akan pernah terjadi Allah swt mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu. Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubungan erat dengan perbuatan dirinya, baik yang zahir maupun yang batin. Manusia yang bersandar kepada perbuatan zahir adalah mereka yang mencari keutamaan keduniaan dan mereka yang bersandar kepada perbuatan batin adalah yang mencari keutamaan akhirat. Kedua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalnya akan menentukan apa yang akan mereka peroleh baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia lupa atau berkurang kepasrahannya kepada Tuhan. Kepasrahan mereka hanya semata-mata kepada amal, kalaupun mereka pasrah kepada Allah swt, maka kepasrahan itu akan bercampur dengan keraguan. Seseorang dapat memeriksa dirinya sendiri apakah kuat atau lemah kepasrahannya kepada Allah swt. Kalam Hikmah 1 yang dikeluarkan Ibnu Arhaillah memberi petunjuk mengenai hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika perbuatan tersebut membuat kita berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah swt, itu tandanya kepasrahan kita kepada-Nya sangat lemah. Firmannya:

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87).

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah swt menggantungkan kepasrahan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimanpun. Kepasrahan kepada Allah swt membuat hati tidak mudah berputus asa dalam menghadapi cobaan hidup. Kadang-kadang apa yang diinginkan, dirancang, dan diusahakan tidak mendatangkan hasil ayng diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah swt. Ketika seseorang itu beriman dan pasrah kepada-Nya, ketika itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperoleh apa yang diinginkan bukan bermakna tidak mendapt rahmat Allah swt. Apapun yang Allah swt lakukan kepada orang yang beriman pasti didalamnya terdapat rahmat-Nya, walaupun keinginannya belum terpenuhi. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah dalam menghadapi ujian hidup, tidak akan berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila semua masalah disandarkan kepada Allah swt, maka apapun amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.

Orang yang tidak beriman kepada Allah swt. berada dalam situasi yang berbeda. Kepasrahan mereka hanya tertuju kepada amal yang terdapat di dalam ilmu dan usaha. Apabila mengadakan suatu usaha berdasarkan pengetahuan, mereka berharap akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuk pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmah kebijaksanaan Allah swt dalam mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah swt dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam juga ada yang sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amal karena kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah swt. Orang seperti ini mengharapkan dengan amalnya dia dapat mencapai kemakmuran hidup di dunia. Dia mengharapkan amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rizki, kedudukan, atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan dari bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya, maka akan bertambah besar harapan dan keyakinan tentang kesejahteraan hidupnya.

Sebagian kaum Muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki surga, juga dapat menjauhkan dari azab api nereka. Keruhanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutama mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amalnya. Mereka tidak akan tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka senantiasa berhasil dan segalanya berjalan menurut apa yang direncanakan. Apabila sesuatu terjadi di luar rencana, mereka akan cepat panik dan gelisah. Bala bencana membuat mereka berprasangka bahwa merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila memperoleh kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan usaha mereka sendiri. Mereka mudah menjadi egois serta suka menyombongkan diri.

Apabila ruhani seseorang bertambah kuat, dia melihat amal sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hatinya tidak cenderung kepada duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap mendapatkan kurnia Allah swt seperti terbukanya hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amal yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaian dalam bidang keruhanian dengan amal yang dilakukannya seperti berzikir, bersembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia ketinggalan melakukan suatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan mellaui amalan tariqat tasawuf.

Jadi, ada golongan yang bersandar semata-mata kepada amal dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua golongan tersebut berpegang kepada amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama berpegang kepada amal zahir, yaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika salah memilih ikhtiar, hilanglah harapan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ahli tariqat pada peringkat permulaan bersandar kepada amal batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika meninggalkan suatu amalan yang biasa dilakukan, maka akan berkurang harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah swt. Sekiranya tergelincir melakukan dosa, maka putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah swt.

Dalam masalah bersandar kepada amal ini, di dalamnya juga termasuk bersandar kepada ilmu; ilmu ada dua jenis, yaitu ilmu zahir dan ilmu batin. Ilmu zahir merupakan ilmu yang mengurusi suatu masalah menurut kekuatan akal. Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan batin dalam menyampaikan keinginan, termasuk di dalamnya penggunaan ayat-ayat Al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang meletakkan ketercapaian sesuatu kepada ayat, jampi, dan usaha sehingga mereka lupa kepada Allah swt yang meletakkan ketercapaian kepada tiap sesuatu itu.

Selanjutnya, atas izin Tuhan, keruhanian seseorang meningkat kepada maqam yang lebih tinggi. Di dalam hatinya ada kalimat:

لاحول ولا قوت الا با الله

“Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.”

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat: 96).

Orang pada maqam ini tidak lagi melihat kepada amalnya; walaupun banyak amal yang dilakukan, namun hatinya tetap melihat bahwa semua alam tersebut adalah karunia Allah swt kepadanya. Jika tidak karena taufik dan hidayah Allah swt, tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah swt:

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih. (QS. Al-Insan: 30-31).

Semuanya adalah karunia Allah swt dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang ditentukan Allah swt, tidak terlihat olehnya jejak perbuatan makhluk termasuk perbuatan dirinya sendiri. Maqam ini dinamakan maqam arifin, yaitu orang yang mengenal Allah swt. Golongan ini tidak bersandar kepada amal, mereka paling kuat mengerjakan amal ibadah.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir telah ridha dengan segala yang ditentukan Allah swt, hidupnya akan senantiasa tenang, tidak berduka cita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab semuanya.

Pada awal perjalanan menuju Allah swt, seseorang mulai beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amal itu sebagai kendaraan yang membawanya kepada Allah swt. semakin kuat dia beramal, semakin besar harapan untuk sukses dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amal sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah swt. Dia melihat semua amal adalah karunia Allah swt dan perjumpaannya dengan Allah swt juga karunia-Nya. Selanjutnya terbuka hijab yang menutupi dirinya, dia mengenali diri dan Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, bodoh, serta kekurangan, dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana, dan Sempurna dalam segalanya. Bila dia sudah mengenali diri dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Qudrat dan Iradat Allah swt yang melingkupi segala sesuatu di alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang senantiasa memandang kepada Allah swt, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan pasrah kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah swt yang faqir.

Tinggalkan komentar