Pembicaraan tentang Golongan Sophistik dan Golongan yang Mengingkari Terhadap Segala Ilmu


Kemudian aku periksa ilmuku ternyata aku mendapatkan diriku masih dalam keadaan kosong sama sekali belum terisi oleh ilmu yang memiliki ciri-ciri seperti ini kecuali berbagai ilmu yang terdapat di dalam beberapa indra dan berbagai ilmu dharuri (necessary).

Kemudian sekarang aku berkata sesudah mengalami keputusasaan: “Tiada lagi ambisi untuk memetik kemusykilan kecuali dari perkara-perkara yang sudah kelas yaitu ilmu-ilmu indrawi dan dharuri sehingga mau tidak mau harus menentukan hukumnya atau bahkan tidak perlu.

Akan aku jelaskan bahwa kepercayaan diriku terhadap ilmu-ilmu indrawi dan ilmu-ilmu dharuri merupakan bagian dari jenis keamananku yang sudah menjadi milikku sebelumnya dalam berbagai ilmu taklid, dan merupakan bagian dari jenis keamanan makhluk dalam berbagai ilmu analisa ataukan dia merupakan keamanan yang pasti yang tidak perlu diberi alasan serta tidak memiliki titik optimal.

Aku tetap menghadapi dengan amat sungguh-sungguh, saya mengangan-angan dalam ilmu-ilmu mahsus (yang dapat diindra) dan ilmu-ilmu dharuri. Kemudian saya menganalisa apakah aku masih berkemungkinan untuk meragukan diriku sendiri dalam ilmu-ilmu itu? Sehingga akhirnya rampunglah lamanya keaguan diri sampai kepada ketidakmauan diriku untuk menyerahkan keamanan di dalam ilmu-ilmu indrawi. Mulailah keragu-raguan itu meluas lagi sehingga timbullah gagasan pertanyaan: “Darimanakah kepercayaan diri dengan ilmu-ilmu mahsus (indrawi) padahal yang paling kuat adalah indra mata di mana dia dapat dipakai untuk memandang kepada bayang-bayang sehingga anda dengan jelas bisa melihatnya dalam keadaan berdiri  tidak bergerak lalu anda bisa menentukan hukumnya bahwa bayang-bayang itu tidak bergerak. Kemudian setelah melalui eksperimen (percobaan) dan kesaksian sebentar anda baru tahu bahwa bayang-bayang itu bergerak dan kadang-kadang juga tidak bergerak secara tiba-tiba dan secara mendadak tetapi dia bergerak secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga anda tidak lagi merasakannya. Lantas coba lihatlah bintang gemintangnya niscaya anda akan melihatnya sebagai benda yang kecil sama besarnya dengan uang logam dinar, kemudian setelah melalui bukti-bukti Ilmu Bangun (Geometri) ternyata bintang itu lebih besar dari pada bumi dalam ukurannya.

Demikian ini dan yang semisal dengannya dari ilmu-ilmu yang bisa diinra itu yang menentukan hukumnya adalah hakim indra, akan tetapi dia tidak diakui oleh hakim akal (rasio) dan dibohongkannya di mana dia tidak mampu untuk melawannya. Kemudian aku berpendapat: “Telah batallah kepercayaan diri terhadap ilmu-ilmu indrawi, maka barangkali tidak terdapat yang dipercaya lagi kecuali dengan beberapa ilmu akal (rasio) yang merupakan rumus-rumus permulaan yang pernah diutarakan seperti ucapan bahwa sepuluh itu lebih banyak dari pada tiga.

Nafi (tidak ada) dan itsbat (ada) itu tidak bisa kumpul dalam satu perkara, sedangkan perkara satu itu pasti tidak mungkin berupa sesuatu yang baru sekaligus sebagai suatu yang qadim (dahulu), ada sekaligus tidak ada dan wajib sekaligus muhal.

Ilmu mahsus (indrawi) berkata: “Sebab apa anda merasa aman bila mempercayakan diri anda terhadap ilmu-ilmu aqli (rasional) sebagaimana kepercayaan anda terhadap ilmu-ilmu indrawi padahal dahulunya anda percaya kepadaku lantas datanglah hakim rasio lalu dia mendustakanku, dan andaikan saja tidak ada hakim rasio niscara anda akan terus membetulkan aku, maka barangkali di balik pengetahuan rasio terdapat hakim lain yang apabila kelihatan dengan jelas tentu dia akan mendustakan rasio dalam keputusannya seperti halnya muncul hakim rasio yang telah mendustakan dan menyalahkan keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim indra. Adapun ketidak munculan hakim lain itu bukanlah berarti ketidakadaannya.

Untuk menghadapi dan menjawab persoalan-persoalan yang pelik di atas maka jiwaku diam sejenak. Saya kukuhkan kesulitannya di dalam tidurku lalu diriku berkata: “Cobalah anda berfikir, di dalam tidur anda percaya terhadap berbagai perkara (impian) lalu anda dapat membayangkan dan mengkhayalkan berbagai hal dan anda tanpa ragu-ragu percaya dan mantap kepada apa saja yang telah anda lihat dalam tidur, kemudian anda bangun sehingga anda tahu bahwa semua khayalan dan keyakinan anda sama sekali tidak memiliki dasar dan kekuasaan, lantas dengan alasan apa anda merasa aman jika semua apa yang anda yakini di dalam keadaan terjaga yang telah diproses oleh indra atau akal itu benar dengan hanya menyandarkan kepada keadaan anda? Tetapi mungkin saja akan datang suatu keadaan yang memiliki ciri sama dengan keadaan jaga anda seperti halnya kesamaan ciri jaga anda terhadap tidur anda dan jadilah jaga anda merupakan tidur anda dengan menyandarkan nisbat tersebut. Maka apabila anda telah benar-benar mendatangkan keadaan itu niscaya anda menjadi yakin bahwa segala apa yang anda fahamkan (fikir dengan tidak jelas) dengan rasio anda hanyalah merupakan khayalan-khayalan yang tidak mempunyai buah, atau barangkali keadaan itulah merupakan sesuatu yang diakui oleh kelompok tasawuf sebagai keadaan mereka sebenarnya sebab mereka menduga kuat bahwa mereka bisa mengadakan musyahadah terhadap keadaan mereka sendiri yang apabila mereka telah menyelami diri mereka sendiri serta telah terlepas dari pancaindra mereka, maka mereka akan menemui berbagai keadaan yang sesuai lagi dengan perkara-perkara yang tidak rasional lagi, dan barangkali keadaan yang seperti itu yang dinamakan maut (kematian), sebab Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Manusia itu tidur, maka apabila mereka sudah mati sadarlah mereka”.

Maka boleh jadi kehidupan dunia merupakan tidur, jika dihubungkan dengan akhirat. Sebab tatkala seseorang telah mati maka tampaklah berbagai perkara yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah disaksikan oleh seseorang di waktu sekarang ini, dan dalam kesempatan itu perlu disampaikan firman Allah ta’ala:

“Maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutup) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”. (Qaaf: 22).

Maka terbetik berbagai bahaya yang telah menghunjam di dalam hati maka aku berusaha mengobati bahaya itu, namun ternyata tidaklah mudah sebab tidak mungkin menyerang dan mengusirnya kecuali dengan dalil, dan tidak mungkin memasang dalil kecuali dengan memiliki dasar-dasar ilmu yang teratur, maka apabila aku tidak dapat mengajukan dalil-dalil tersebut niscaya aku tidaklah mungkin bisa menjelaskan dalil-dalilnya secara nyata. Penyakit itu menggerogoti dan bertakhta di dalam hatiku selama dua bulan di mana dalam waktu dua bulan itu aku terombang-ambing di dalam madzhab/ aliran “Sophistik” yang hanya bisa menentukan langkah tindakan saja, tak bisa menentukan langkah logika serta ucapan. Kemudian sesudah itu Allah memberi kesembuhan kepadaku dari penyakit itu dan kembalilah hatiku sehat dan normal seperti sediakala. Kepastian-kepastian aqli bisa diterima kembali dan bisa diakui kredibilitasnya.

Datangnya kembali keyakinan itu tidaklah dengan cara penyusunan pembuktian atau mengemukakan berbagai dalil yang tersusun rapi dan apik akan tetapi berkat cahaya Allah yang telah Allah letakkan di dalam dadaku. Cahaya itu sendiri merupakan kuncinya kebanyakan orang yang telah memiliki ilmu ma’rifat. Barang siapa yang menduga bahwa “Kasyaf” itu hanya terbatas pada dalil-dalil belaka, berarti orang ini telah menyempitkan arti rahmat Allah yang amat luas itu.

Ketika suatu tempo Rasulullah SAWditanya tentang kata “Asy-Syarh” beserta maknanya di dalam firman Allah ta’ala:

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam”. (Al-An’am: 125).

Maka beliau menjawab: “Itulah suatu cahaya yang telah Allah ta’ala curahkan di dalam hati”. Kemudian beliau ditanya lagi: “Apa tanda-tandanya”, beliau menjawab: “… menghindari dari negeri tipuan (dunia) dan kembali menuju kepada negeri kekal (akhirat)”.

Berkenaan dengan masalah cahaya ini Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk ini dalam kegelapan, kemudian Dia memerciki mereka dengan cahaya-Nya”.

Dari cahaya itu seyogyanya seseorang mencari “Al-Kasyf”, sebab cahaya itu tersemburat dari kemurahan Ilahi pada sementara waktu. Untuk mendapatkan itu seseorang haruslah mengincar terus terhadap cahaya itu, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:

“Sesungguhnya Tuhanmu di dalam perjalanan hidupmu memiliki beberapa pemberian, maka hendaknya anda ingat dan tunggulah kesempatan itu”.

Maksud dan tujuan dari sabda Nabi tersebut adalah agar seseorang beramal dengan penuh kesungguhan dalam mencari pemberian tadi, sehingga benar-benar sampai kepada pencarian sesuatu yang tidak dicari lagi. Sebab ilmu-ilmu dasar (awwaliyyat) tidaklag perlu dicari karena dia merupakan ilmu yang hadir (kelihatan) dan sesuatu yang hadir itu apabila dicari maka dia akan hilang dan tersembunyi, dan barang siapa yang mencari sesuatu yang tidak dicari maka dia tidak akan dituduh berbuat seenaknya dalam mencari sesuatu yang tidak dicari tersebut.

Tinggalkan komentar